Penerbit: Mizan Fantasi
"Genre": Mythology, Awesomeness, Fantasy, Children
Edisi: Paperback, bahasa Indonesia
Leo mengangkat bahu. "Perkara masa depan. Tidak perlu dirisaukan."
Sebagai mantan Dewa Ramalan, aku selalu menganggap masa depan sebagai sumber kerisauan tak berkesudahan. Namun, kuputuskan untuk tidak mendesak lebih lanjut. Saat ini, satu-satunya target penting untuk masa depan adalah mengembalikanku ke Gunung Olympus supaya dunia bisa kembali menikmati kegemilanganku. Aku harus mengutamakan kemaslahatan bersama.
(hlm. 247)
Setelah berhasil mengamankan Oracle kuno pertama yaitu Hutan Dodona di buku pertama "The Hidden Oracle"; cobaan lain yang lebih spektakuler tentunya masih menanti sang mantan dewa tokoh utama kesayangan kita, Apollo alias Lester Papadopolous. Mengingat bahwa menyongsong semua cobaan spektakuler itu adalah cara bagi sang mantan dewa agar bisa memperoleh kembali kejayaan dewatanya, maka berangkatlah Apollo, kali ini ditemani Leo Valdez sang putra Hephaestus yang mengendalikan dan tahan api, serta mantan penyihir putri Titan Atlas, Calypso. Ketiganya bersama dengan Festus si naga perunggu peliharaan Leo pergi ke Indianapolis untuk menyambangi Oracle kuno kedua, Gua Trophonius yang terkenal karena biasa mengambil kewarasan para penanya ramalannya. Ancaman yang mengintai Apollo kali ini juga bukan main-main, dan untuk mengamankan kembali Oracle sumber ramalan kuno tidak segampang itu karena besarnya ancaman pihak musuh. Ada sosok dari masa lalunya yang tidak hanya terkenal kuat dan bengis, namun juga merasa telah dikhianati olehnya dan menyimpan dendam. Pasukan monster dan abdi-abdi jahat akan menghadang langkah sang mantan dewa. Bagaimana kali ini Apollo yang minim kekuatan dewata dan hanya berbekal ukulele serta anak panah tukang ngoceh dari batang pohon Dodona menghadapinya?
Akhirnya buku kedua dari kisah petualangan seri Trials of Apollo berhasil saya tamatkan meskipun sempat sedikit tersendat membacanya; bukan, bukan karena ceritanya nggak seru, cuma saya nya yang gampang teralihkan oleh hal-hal kurang berfaedah. Untunglah di penghujung 2017 (persis tanggal 31 Desember 2017) saya bisa menamatkan membacanya, dan merasa terpanggil untuk menuliskan ulasan ala-ala nya, yang seperti biasanya berdasarkan pendapat pribadi saya.
Mengikuti penarasian Apollo saja sudah merupakan pengalaman membaca yang menghibur menurut saya. Apalagi, beliau menarasikan petualangan epik dan penuh cobaan yang pastinya membuatnya jadi lebih seru untuk diikuti. Tentunya bukan karena saya pembaca yang sadistik dan ingin melihat penderitaan ya, tapi justru karena ingin tahu, harap-harap cemas, dan deg-degan mengikuti perjuangan yang dilakukan saat harus menghadapi rintangan. Sebagai pengikut setia karya-karya Riordan, saya masih menemui banyak humor yang sengaja membenturkan fakta-fakta mitologis dengan dunia keseharian, dan gaya penceritaan Apollo yang suka lebay nan berjiwa lebih romantis/puitis/tragis mendukung penuturan deskripsi sehingga tidak jarang berhasil membuat saya geli membacanya. Well, resikonya memang jadi diliatin sama orang lain yang gak ikutan baca dan dikira lagi baca apaan, tapi ya biarlah. Sudah membaca hampir semua cerita yang dituliskan Riordan sampai membaca buku ini, saya masih merasakan ketidaksabaran untuk menanti bagaimana cerita dan petualangannya berlanjut, tanpa ada rasa bosan atau dorongan untuk melewati bagian-bagian tertentu.
Dalam membawakan kisah di bukunya yang kesekian ini Riordan tetap berhasil membuat pembaca bisa mendukung tokoh-tokoh penting di cerita dan bersimpati pada mereka. Pengalaman belajar hal-hal mitologi sambil mengikuti cerita juga terus "terbarukan" seiring banyaknya karakter dan hal-hal yang akan dijumpai dan terlibat dalam petulangan penuh cobaan yang diceritakan. Jangan sedih kalau masih mengharap adanya keterlibatan karakter-karakter jagoan di kisah-kisah sebelumnya, karena masih sangat memungkinkan. Apollo a.k.a Lester yang kaya sejarah dan kenangan sebagai tokoh utama yang aslinya dewa kuno membuat kesempatan untuk mengangkat lebih banyak hal-hal mitologik dalam cerita menjadi lebih memungkinkan dan leluasa.
"Untuk menjawab harapan orang lain, kau tidak perlu menjadi dewa. Lakukan saja yang terbaik untuk teman-temanmu."(hlm. 223)
Perkembangan karakter Apollo sangat terasa di sini karena bisa terlihat bahwa pengalaman mengalami kefanaan membuat Apollo melatih perasaan "kemanusiaan"nya. Pengalamannya dalam hal berinteraksi dan "bergantung" pada tokoh-tokoh lain juga berkontribusi dalam membangun keterikatan emosional sang mantan dewa dengan tokoh-tokoh lain; dan saya menganggap adanya ikatan emosional seperti itu menarik karena penasaran bagaimana implikasinya kalau misalkan nanti beliau bisa kembali jadi dewa lagi. Meskipun saya menilai bahwa buku ini memberikan banyak humor, tapi secara nggak disangka saya juga ikut menginvestasikan perasaan simpati dan emosional pada banyak momen dalam cerita. Penarasian Apollo juga memberikan sudut pandang baru ketika beliau mengkontemplasi tentang perbedaan-perbedaan ketika menjadi fana dan ketika menjadi abadi, saat apa yang dialaminya membuatnya mempertanyakan apakah menjadi abadi memang sesuatu yang paling berharga dari semuanya.
"Yang penting bukan berapa lama kita hidup, melainkan untuk apa kita hidup."
(hlm. 222)
Setahu saya buku karangan Riordan digolongkan ke buku yang cocok dibaca anak-anak, tapi memang muatannya banyak yang juga bagus diambil oleh pembaca yang lebih dewasa. Ceritanya yang mengangkat tema petualangan berbahaya juga sebenarnya wajar untuk diekspektasikan mengandung kemungkinan kemalangan yang memancing kengerian pembaca yang lebih muda, dan di Dark Prophecy ini juga Riordan tidak repot-repot "menghaluskan" bahaya dan bahkan menyajikan deskripsi kekerasan seperti pemenggalan kepala dan menunjukkan tokoh yang mungkin kurang populer kalau di dunia anak karena ada ciri fisik yang bisa memancing ngeri, misalnya tidak berkepala.
Kita akan mengenal cukup banyak karakter-karakter baru juga, bahkan saya sampai punya satu kecengan anti-hero yaitu Lityerses sang Pemanen Manusia. Waduh siapa tuh, mending baca aja ya. Di buku ini juga makin gamblang bahwa Riordan sepertinya ingin menunjukkan luasnya kemungkinan keberagaman dalam "universe" mitologi kekinian nya. Saya juga menangkap adanya semacam petunjuk kalau sepertinya Riordan menyiapkan latar mitologis baru lagi untuk kemungkinan diceritakan lebih lanjut di masa depan, tapi mending lihat nanti saja deh dan sabar aja karena yang disuguhkan sampai sekarang juga udah bikin betah mengikuti.
Buku ini tentunya tetap saya rekomendasikan untuk pembaca kisah fiksi-fantasi, apalagi kalau yang memang sempat mengikuti kisah petualangan mitologi kekiniannya Riordan. Secara umum juga ceritanya akan mudah disukai oleh berbagai rentang usia meskipun mungkin ada beberapa aspek yang butuh pendampingan orang yang lebih tua untuk dijelaskan pada yang usianya lebih muda. Seri Trials of Apollo ini masih akan berlanjut dan tentunya saya sebagai pembaca setia karya-karya Riordan akan menantikannya, dan secara budiman akan membeli kopian terjemahan Indonesia selanjutnya. Masih berharap pada kesempatan dinoticenya saya sama penerbit nya sebagai pembaca setia dan siapa tahu bisa datang ke booksigning Rick Riordan. Ngimpi aja dulu, siapa tahu?
No comments:
Post a Comment