Monday, May 3, 2021

Lalu Semuanya Masuk Akal: Beradaptasi Merapikan 'Timbunan' Insecurities dengan Bantuan Eksplorasi, Apresiasi, dan Agatha Christie

Mulai dari mana untuk membahas tentang perjalanan beradaptasi versi saya dan kaitannya dengan buku?


Perlu diberitahu kalau saya bukan hendak berbagi suatu kejadian atau peristiwa yang secara umum akan dibilang 'wah' ataupun mengungkapkannya sebagai seorang yang sudah 'bertransformasi'. Secara teknis saya masih... saya sendiri seperti halnya pada dua atau tiga tahun lalu, mbak-mbak kantoran usia seperempat-abad (meski kalau di tempat umum harus terima disapa 'Bu' padahal belum ada separuh-abad) yang suka membaca - dan kalau sedang niat dan kesambet akan dengan senang hati meracau tentang pengalamannya membaca buku-buku yang kebanyakan fiksi.


Baiklah, hampir semua atau memang semuanya fiksi. 


Yang aneh, atau 'maksa' - bahkan dengan semua itu saya merasa tengah menjalani suatu proses adaptasi. Mungkin sobat kebal plot-twist sudah menebaknya, tapi mbak-mbak kantoran perempat-abad yang suka baca ini tentu saja punya koleksi insecurities alias ketidakamanan dan krisis personal selama rentang waktu dua sampai tiga tahun itu. 'Judul' nya juga ada-ada aja, dan ditimbun, seperti halnya timbunan buku bacaan yang kalau dipikir-pikir kok bisa ya kalap dan khilaf untuk dibeli.


Seringkali memang rasanya gampang banget untuk menimbun pikiran seperti halnya menimbun buku. Dalam kasus saya, pikiran-pikiran itu sebenarnya satu 'genre' dan premis: "Drama sendiri karena diam-diam memendam galau dan frustasi. Kenapa sih diri dan hidup saya gini-gini amat... Padahal si anu ya bisa gini dan si ani bisa gitu - terus kenapa saya nggak bisa-bisa ya?"


Ujungnya ya saya bisa konslet kalau dilanjutkan, dan untungnya (spoiler) saya bisa bertahan menghadapinya - sehingga bisa menceritakan dan berbagi pada kalian di sini. Kalaupun tulisan ini ada sedikit gunanya, paling nggak semoga bisa membuat yang mengalami hal serupa bisa merasa nggak sendirian.


Ya, daripada dibilang sudah 'bertransformasi', saya lebih nyaman untuk bilang bahwa saya sudah 'bertahan'. Dan segala puji pada Nya, saya selamat, atau bahasa londonya I survived.


Bagaimana saya bisa belajar untuk bertahan sebenarnya bukan karena sebuah revelasi atau pemahaman yang mind blowing. Nggak ada insight menggebrak yang bisa menjustifikasi saya untuk membuat judul yang lebih mengumpan. Yang lucu, sehingga saya menebalkan muka (semoga dompet juga menyusul) untuk menulis ini adalah dorongan yang saya alami untuk 'mengenang' bagaimana saya mempelajari hal-hal nggak mind blowing dan sebenarnya sangat sederhana itu dengan proses dan perjalanan yang bisa dibilang berat dan lama. Sama sekali nggak instan, tapi sangat layak dijalani. 

Jadi ini dia (meski di judul sudah saya bocorin, sih...): Mengeksplorasi dan mengapresiasi bahkan sesedikit mungkin hal yang bisa saya pikirkan untuk disyukuri dalam hidup saya ternyata membuat saya beradaptasi lebih baik untuk bertahan di tengah timbunan ketidakamanan yang teronggok di sudut pikiran. 


Tidak berarti saya kemudian mengabaikannya, lalu semua timbunan itu menjadi semacam beban tidak sadar yang sengaja disupresi, ya. Saya mengumpamakan bahwa timbunan dari ketidakamanan saya punya satu kesamaan 'topik': Kenapa saya nggak bisa 'memiliki' prestasi atau pencapaian atau titel atau entah apalagi hal yang bisa 'dimiliki' oleh orang-orang lain yang di mata saya lebih 'beruntung'? Kenapa ya saya kayaknya jadi yang ketinggalan melulu?


Lalu dari suatu sudut pandang, kelihatannya uraian itu jadi memungkinkan untuk diumpamakan kalau saya seperti terpancing untuk merasa terancam dan nggak aman kalau memperhatikan koleksi judul-judul buku orang lain. Bagaimana saya melihat koleksi orang lain itu seakan-akan dipajang bagus di rak mentereng, serba layak-pamer dan terbarukan. 


Saya yang merasa punya koleksi nggak sepadan dengan itu semua pun jadi sering membebani diri. Saya merasa nggak mampu untuk bisa menyamai koleksi orang lain. Saya super galau ketika sempat mengira bisa punya satu 'judul' yang (menurut saya) bakal membuat koleksi saya kelihatan ulala~ tapi ternyata nggak bisa saya miliki. 


Padahal, tanpa saya sadari saya jadi nggak fokus dengan apa yang sudah saya miliki. Mau nggak mau, yang tersisa untuk dilakukan pada akhirnya adalah menekuni judul-judul (yang saya anggap) seadanya di rak saya. Pengalaman nggak bisa memiliki judul yang ada di rak orang lain terlalu pahit untuk membuat saya betah berlama-lama, jadi daripada nggak melakukan apa-apa dan cuma pahit sendiri itulah yang saya lakukan. Jangan ditanya gimana rasanya, berat bangeet! Ya, ini agak hiperbola, tapi saya nggak akan menyangkal kalau ada masanya saya juga merasa semacam terpaksa untuk 'menekuni' yang ada di 'rak' saya.


Koleksi saya tentang keluarga dan kasih sayang tulus mereka ternyata banyak juga, dan itu menjadi salah satu yang pelan-pelan membuat beban untuk menekuni judul-judul yang ada dalam kehidupan saya menjadi sedikit demi sedikit berkurang. Lama-lama, menjadi jelas bagi saya kalau ternyata saya bisa sangat bahagia dengan judul-judul yang sudah ada. Malah, jadi heran sendiri kenapa bisa dulu sebegitu terpaku untuk memiliki dan mendapatkan judul-judul baru. Apa nggak capek, diri saya yang dulu? Yah, setidaknya ada yang akhirnya dipelajari. 


Pada akhirnya saya sendiri merasa sedikit tidak menyangka akan menuliskan kata-kata ini: Semua yang pada awalnya terlihat seperti timbunan ketidakamanan bagi saya, lama-lama menjadi terasa lebih rapi dengan sendirinya seiring saya lebih mengapresiasi judul-judul yang ada dalam koleksi saya. Belum lagi dengan mempertimbangkan hal yang terjadi akhir-akhir ini, banyak orang kehilangan judul-judul yang berharga dari koleksinya.


Tidak benar rasanya bagi saya yang masih bisa memiliki sebagian besar, kalau tidak semua, malah - koleksi milik saya untuk terus membebani diri karena merasa seharusnya memiliki koleksi yang 'lebih baik'. Tidak terbayangkan bagi saya jika harus kehilangan judul-judul penting dari koleksi saya, pasti saya akan sangat menyesalinya.


Koleksi saya bukannya menjadi niscaya baru. Tapi dengan cara pandang berbeda, judul-judul yang telah ada di sana jadi terasa demikian. Meski sering dibilang klise, tapi saya nggak tahu bagaimana lagi harus mengungkapkan bahwa ternyata memang benar jika pada akhirnya semua yang awalnya membingungkan nantinya akan menjadi lebih masuk akal. Bisa dibilang seperti membaca novel misteri, yang merupakan genre buku fiksi kesukaan saya pada umumnya, khususnya pada karya-karya karangan Agatha Christie yang sudah setia diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.


Terlalu besar godaannya bagi saya untuk menyebutkan judul-judul novel Agatha Christie yang belakangan saya baca (termasuk yang dibaca ulang), sehingga saya tentu saja akan mencoba melakukannya di poin-poin berikut. Judul-judul itu akan saya ‘libatkan’ (dengan agak memaksa) dalam perumpamaan untuk menjelaskan proses adaptasi yang saya alami untuk bisa membuat timbunan ketidakamanan saya menjadi lebih ‘rapi’ dan tidak lagi membebani separah dulu. 


Sudah lama sejumlah besar judul-judul novel Agatha Christie menjadi bagian dari koleksi buku di rumah. Lucunya, meski sering mengaku mengagumi karya-karyanya, saya belum selesai membaca semua judul buku yang sudah tersedia itu. Kalau tidak kebetulan ‘mirip’ dengan kondisi saya dahulu, punya begitu banyak judul dalam koleksi saya tapi ternyata belum semuanya benar-benar dibaca, saya nggak tahu harus disebut apa lagi. Cocoklogi? Biarlah, namanya juga saya sedang berbagi pengalaman subjektif.


Dan tentu saja wajar bagi saya untuk mengalami masa-masa untuk pasang mata dan lirik-lirik koleksi cerita-cerita misteri lainnya yang jelas amat banyak di jagad literasi. Berpikir kalau sepertinya saya akan ketinggalan ‘tren’ kalau nggak punya atau nggak membaca judul-judul populer dari penulis Amerika Serikat hingga Jepang, tanpa sadar ternyata saya jadi kelepasan membeli one too many books yang akhirnya (tentu saja) menjadi timbunan. Terlalu terpaku untuk memiliki, mencapai sesuatu, kepada suatu bentuk ‘prestasi’ - saya jadi kurang dalam proses ‘eksplorasi’ dan ‘apresiasi’ yang sebenarnya penting untuk dimantapkan lebih dulu.


Mungkin bisa dibilang demikian lah gambaran proses penimbunan mental yang saya alami - tapi dalam hal ketidakamanan yang tentu saja sama sekali nggak terasa seasyik memiliki timbunan buku alias to be read. Dan saya hanya bisa lagi-lagi bersyukur dengan keputusan ‘sederhana’ saya - setelah sadar kalau saya tidak bisa selalu berharap bisa sering-sering beli buku ketika saya seharusnya bisa menghemat pengeluaran - untuk mulai membaca judul-judul Agatha Christie yang belum sempat saya jamah meski sudah lama menjadi bagian dari koleksi di rumah. Level eksplorasi ini juga ditambah dengan upaya saya untuk mulai membaca judul-judul novel beliau yang tidak memuat kemunculan Hercule Poirot! Ini penting untuk diungkit mengingat kekaguman saya akan sosok detektif fiksional itu sampai rasanya melebihi keheranan saya pada tokoh Sherlock Holmes yang (katanya) lebih terkenal itu.


Buku pertama dari kisah pasangan Tommy dan Tuppence yaitu The Secret Adversary yang sudah diterjemahkan dengan judul Musuh Dalam Selimut ternyata sukses membuat saya jatuh hati dan bersimpati pada pasangan detektif amatiran itu. Begitupula kisah Bobby dan Frankie di Why Didn’t They Ask Evans? (diterjemahkan menjadi Pembunuh di Balik Kabut). Ada sensasi keseruan tersendiri dalam menyimak tokoh yang bukan profesional dalam hal mengusut perkara ternyata bisa terlibat dalam petualangan yang menegangkan dengan mengandalkan kecerdikan, kerjasama, keberanian, dan mungkin keberuntungan. Saya nggak akan bohong, agak menyesal juga kenapa nggak dari dulu baca, tapi tentu saja lebih baik terlambat daripada nggak sama sekali, kan? Well, tapi saya rasa nggak perlu ada label terlambat dalam semua proses pribadi. Semua orang punya timing sendiri-sendiri untuk belajar memahami diri dan kehidupan masing-masing. Dan siapa bilang misteri yang seru hanya bisa melibatkan detektif?



Saya juga harus menyebut Crooked House (diterjemahkan menjadi ‘Buku Catatan Josephine’). Judul tersebut saya baca dengan tambahan dorongan berupa informasi kalau ceritanya diadaptasi secara live action sehingga saya pikir saya harus baca bukunya dulu sebelum menonton adaptasinya. Ceritanya ternyata amat sangat menarik dengan dinamika tentang kehidupan keluarga besar sebagai salah satu temanya. Saya merasa bisa amat terhubung dengan tema tersebut sebagai orang yang masih beruntung bisa merasakan untuk tinggal di rumah dengan banyak anggota keluarga sehingga menyimak ceritanya menjadi pengalaman yang berkesan.


Selain menegangkan dan bikin penasaran, menyimak cerita Buku Catatan Josephine membuat saya jadi merenungkan berbagai sisi dari menjadi bagian dari sebuah keluarga yang mungkin nggak akan terpikirkan kalau tidak terpancing oleh daya tarik (atau daya kejut) cerita ini. Rasanya saya juga merasa lebih bersyukur atas kebaikan yang ada dalam keluarga saya setelah membaca novel ini. Persisnya kenapa, lebih baik baca sendiri deh. 


Baru menyebutkan tiga judul novel Agatha Christie aja mungkin udah terbayang ya kenapa novel-novel beliau rasanya nggak akan ‘basi’ meski sudah berpuluh-puluh tahun terbit. Saya selalu merasa salut dengan kehebatan cerita-cerita beliau yang bisa memikat, mengecoh, dan membuka pandangan dan pemikiran kita tentang seluk-beluk manusia dan kehidupannya lewat berbagai macam kasus yang tersaji. Banyak hal yang muncul dalam novel beliau terasa masih relevan hingga kini. Karena kalau dipikir-pikir, manusia sebenarnya sama saja meski zaman berubah, dan Agatha Christie selalu piawai meramu berbagai kisah yang sangat menarik karena psikologi yang terlibat di dalamnya. Makanya nggak mengherankan juga jika banyak judul karangan beliau yang diadaptasi ke media non-tulisan.


Jadinya cukup kebangetan sih kalau saya sampai repot-repot merasa ‘ketinggalan’ dalam hal menikmati cerita-cerita misteri. Sebabnya, bahkan seluruh kebrilianan dan keseruan yang bisa saya temui dalam judul-judul karangan Agatha Christie yang ada di koleksi saja belum khatam. Saya jadi merasa lebih bersemangat untuk melanjutkan eksplorasi dan apresiasi koleksi ini kedepannya, dan pastinya itu akan jadi pengalaman membaca yang seru banget.


Demikian pula dengan timbunan ketidakamanan saya yang sifatnya immaterial, meski mungkin awalnya berat dan susah dilakukan (contoh penghalangnya seperti: ‘hah memangnya apanya sih dari saya yang bisa dibanggakan?’). Semakin jelas buat saya bahwa sebenarnya amat penting untuk mengeksplorasi segala hal, entah sekecil apapun, yang tersedia dalam kehidupan saya akan tetapi mungkin sebelumnya kurang dianggap agar keberadaannya terasa lebih jelas.


Dari situlah kemudian saya bisa lebih lega untuk mengapresiasi hal-hal tersebut dengan semestinya daripada menyesal di kemudian hari. Hal-hal tersebut bisa apa saja, misalnya seperti contoh yang saya sebutkan yaitu keluarga yang baik dan menyayangi saya. Dan nggak perlu merasa bersalah jika perlu baca novel misteri pembunuhan dulu sebagai bagian dari proses untuk benar-benar mengapresiasinya.


Nggak hanya berhenti untuk buku yang sebelumnya belum saya jamah, bahkan membaca ulang cerita Agatha Christie juga memungkinkan saya menjalani proses beradaptasi untuk menghadapi pikiran yang menggoda dijadikan tambahan di timbunan ketidakamanan. Di sini saya akan menyebutkan satu judul yang mungkin familier: Death on the Nile (yang sudah diterjemahkan sebagai Pembunuhan di Sungai Nil).


Mirip dengan Buku Catatan Josephine, saya (kembali) mengunjungi kisah tersebut karena tahu bahwa akan ada versi adaptasi terbarunya untuk ditonton. Belum lagi karena cerita tersebut juga merupakan salah satu kasus Poirot yang terkenal.  Meski berekspektasi untuk mengalami kembali keseruan dan ketegangan ceritanya, saya juga mendapati bahwa ternyata cerita tersebut juga memiliki bahasan menarik lain di samping pembunuhannya. Lagi-lagi, saya mungkin nggak akan menyadari itu kalau nggak melakukan baca ulang.


Amat menarik bagi saya untuk memerhatikan bagaimana Agatha Christie tetap menyelipkan tema drama percintaan ‘ekstra’ di novel yang kasus pembunuhannya sebenarnya sudah cukup miris dan menegangkan. Tanpa bermaksud membocorkan poin penting di ceritanya, saya merasa cukup takjub melihat bagaimana bisa-bisanya benih(-benih) asmara tetap mampu bertumbuh di atas kapal maut. Agak kocak, sebenarnya, sewaktu saya yang masih tahan berstatus lajang ini menyimak progresi penyelesaian konflik juga mencakup resolusi yang rapi kaitannya dengan hubungan asmara satu orang dengan yang lain. “Ya ampun sempet-sempetnya aja, tapi namanya jodoh emang nggak ada yang tahu sih.” kurang-lebihnya begitu di pikiran saya.


Menjadi terpikirkan bagi saya kalau cinta akan selalu bertahan, tidak peduli adanya maut ataupun teror. Atau malah justru karena adanya semua kekejaman itu maka cinta tetap menemukan jalannya. Yang disebut ‘cinta’ di sini juga bisa ditafsirkan secara luas, ya, sehingga bahkan tetap relevan bagi kaum betah lajang seperti saya.


Nggak bisa disangkal, saya jadi merasa perlu juga mengaitkannya dengan situasi saat ini. Saya rasa banyak yang akan setuju bahwa pandemi dan segala hal nggak-terpikir yang mengiringinya membuat kita merasakan lebih banyak ketakutan, ketidakpastian, dan semacamnya. Itu baru yang asalnya eksternal, padahal masalah internal seperti ketidakamanan personal juga tetap saja ada dan mungkin malah menjadi semakin intens. 


Dengan situasi yang sarat ketidakpastian ini, juga menjadi nampak bagi saya mengenai pentingnya menjaga semua yang saya cintai selagi saya masih punya kesempatan. Menurut saya, di saat seperti ini sangat penting bagi kita untuk menguatkan daya ‘cinta’ kita, mulai dari diri sendiri hingga ke sesama manusia. Nggak perlu memaksa harus meraih prestasi mentereng ketika bisa tetap sehat dan berkumpul bersama orang tersayang sudah merupakan pencapaian tersendiri yang nggak bisa ditakar dengan tropi atau medali apapun. Dalam cara tersendiri, saya setuju bahwa kita sebenarnya sedang bersama-sama beradaptasi agar semua kebingungan, kekhawatiran, dan ‘ketegangan’ yang sayangnya bukanlah fiksi belaka bisa menghadirkan penyelesaian serta pemahaman masuk akal.


Tetap saja, perjalanan dan proses yang dijalani setiap orang berbeda-beda. Saya punya timbunan ketidakamanan sendiri dan masih berusaha menguatkan proses eksplorasi dan apresiasi terhadap koleksi personal yang membentuk diri dan kehidupan saya. Dari situlah saya bisa terus bertahan dan punya jalan untuk merapikan timbunan ketidakamanan itu karena sudah berupaya membuat hal-hal yang tadinya nggak masuk akal jadi lebih masuk akal. Prosesnya mungkin akan lama dan berat, tapi seperti halnya menyimak cerita misteri - selama kita menikmati menghidupi semua pengalaman itu, yakinlah bahwa semuanya akan masuk akal pada akhirnya.

Monday, April 29, 2019

Liye, Tere. Tiga Buku Serial "Bumi": "Ceros dan Batozar", "Komet", dan "Komet Minor"


Bertemu “Ceros dan Batozar”, Melintasi “Komet”, dan Mengakhirinya di “Komet Minor”: Petualangan Seru di Dunia Paralel yang Tetap Membumi dengan Hikmah Berkesan

"Anak-anak ini keras kepala. Sekali menetapkan tekad, ...bahkan disuruh makan tepat waktu atau tidur lebih awal saja mereka susah. Namanya juga remaja. Susah diatur, masa-masa pencarian jati diri."
("Komet Minor", hlm. 218)

Tahun terbit: 2018 ("Ceros dan Batozar"), dan 2019 ("Komet" dan "Komet Minor")
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Edisi: Paperback, bahasa Indonesia
"Genre": Fantasy, Adventure, Awesomeness, Reflective
Beli bukunya dengan diskon 20-25% secara online di sini:
- Ceros dan Batozar (Bukabuku.com) (Gramedia.com)
- Komet (Bukabuku.com) (Gramedia.com)
- Komet Minor (Bukabuku.com)

Raib, Seli, dan Ali kelihatannya menjalani kehidupan yang sama saja dengan remaja sekolah menengah kebanyakan. Kalau sekadar bertemu, mungkin kita tidak akan sadar kalau sebenarnya mereka bertiga adalah petualang dan petarung dunia paralel. Bersama-sama mereka telah menjalani berbagai petualangan besar di dunia yang tidak terbayangkan oleh anak-anak seusia mereka. Raib yang bisa menghilang sebenarnya adalah keturunan murni Klan Bulan yang hanya muncul sekali dalam siklus dua ribu tahun, Seli yang bisa mengeluarkan petir dari tangannya sebenarnya keturunan Klan Matahari dengan teknik bertarung kinetik, dan Ali yang tidak hanya jenius, tapi juga adalah Klan Bumi yang mewarisi kemampuan langka. Mereka menjalani berbagai petualangan mengeratkan persahabatan bersama, yang tidak sekadar sahabat untuk ber-YOLO, have fun, dan eksis di pergaulan, tapi benar-benar persahabatan berfaedah berlandaskan kasih sayang tulus yang cocok menjadi panutan bagi pembaca.

Petualangan trio sahabat sejauh ini telah memungkinkan mereka singgah dan mengalami berbagai tantangan dan pembelajaran di Klan Bulan, Klan Bintang, Klan Matahari, dan Klan Bumi; semuanya sudah diceritakan dalam empat buku berbeda dalam serial Bumi. Saya yang selama ini mengaku sebagai peminat cerita fantasi, jujur saja merasa cukup missed-out karena tidak benar-benar menyadari adanya seri kisah fantasi persembahan penulis Indonesia ini, meski pernah mendengar tentang buku pertamanya, Bumi - dan itupun sekadar mendengarnya sebagai “buku baru karya Tere Liye”.

Untuk menjadi benar-benar terus terang, dalam persepsi saya nama besar Tere Liye selama ini adalah penulis yang lebih lekat dengan image karya di segmen drama dan romansa kaya bahan renungan dan inspirasi caption foto. Sudah lama saya punya akses ke beberapa buku beliau, antara lain yang judulnya “Ayahku Bukan Pembohong” dan “Berjuta Rasanya”. Hanya saja, selama ini pula saya belum pernah berkesempatan membaca satu pun, juga belum pernah memikirkan kemungkinan bahwa selain buku di genre fiksi drama itu, ternyata Tere Liye juga menulis di genre fantasi. Betapa mungkin akan berbeda keadaannya jika saya dari dulu tahu bahwa buku Bumi adalah cerita fantasi dengan premis sangat menarik. Kemana aja sih saya? Barangkali saya masih sibuk lebih banyak mengikuti perkembangan kisah fantasi penulis luar negeri seperti Rick Riordan dibanding benar-benar menyimak perkembangan cerita fantasi dari dalam negeri. Padahal sementara itu tidak terasa telah terbit judul demi judul buku dalam serial Bumi sampai pada akhirnya saya bisa dipertemukan dengan kesempatan untuk membaca seri ini dari buku ke 4,5nya, “Ceros dan Batozar”.

Aku sama sekali tidak menduga, beberapa jam lagi kami justru bertemu dengan sebuah misteri lain dari dunia paralel. Bukan di klan-klan dunia paralel itu, tapi di sini, di bumi, di klan kami sendiri.
(“Ceros dan Batozar”, hlm. 12)

Friday, November 9, 2018

SONG FOR ALICE BLOGTOUR GIVEAWAY: Penerbit Twigora x A Book is a Gift


Sama seperti kata Arsen di gambar di atas, saya juga ingin membuat kalian bahagia karena sudah menyimak blogtour Song For Alice sampai penghujung ini (di giliran saya~) dengan mengadakan giveaway juga seperti host lainnya, berhadiah satu eksemplar buku Song For Alice untuk seorang pemenang! Gimana kesan kalian sejauh ini? Semoga posting interview dan review saya bisa diterima dan menjadi pertimbangan kalian ya, supaya bisa segera baca Song For Alice karena kalian pastinya nggak akan nyesel untuk baca novel ini :'

Saya tunggu tanggapan dan partisipasi kalian ya! Untuk mengikuti giveaway novel Song For Alice, caranya juga nggak susah kok, mohon disimak ya ketentuannya di bawah ini...

Thursday, November 8, 2018

Ramadhina, Windry. SONG FOR ALICE Book Review and Photo Challenge (Blogtour)

Hidupnya sempurna - atau setidaknya, dia pernah berpikir hidupnya sempurna.
Sekarang, ya, dia akan menyesal. Sangat. Bukan karena dia kehilangan musik, atau karena tidak lagi bisa merasakan cahaya menyorot ke arahnya, atau karena rindu mendengar lautan manusia menyebut namanya dengan putus asa.
Bukan karena itu semua.
(hlm. 55)

PENERBIT RORO RAYA SEJAHTERA
NOVEL
SONG FOR ALICE
WINDRY RAMADHINA
SC; 14 x 20 cm
Jumlah Halaman: 328 halaman
Bookpaper 55 gr;
ISBN 978-602-51290-7-0
Harga: Rp 85,000
Tagline: "Mencintaimu adalah penantian yang panjang."
"Genre": Love, Family, Drama, Music

Kisah Berjiwakan Cinta yang Bukan Sekedar Cinta

Setelah Follow Me Back, ternyata di Song For Alice saya kembali bertemu dan mengenal seorang pemusik muda, tampan, dan terkenal; tapi dengan kekosongan di hatinya. Namanya Arsen Rengga, seorang rocker muda yang tidak hanya jago nyanyi tapi juga menulis lagu dan memetik gitar. Kehidupan gemerlap musisi terkenal rupanya tidak memberikan segalanya bagi Arsen, karena rupanya ada yang hilang dalam dirinya hingga tercermin dalam musiknya. Wild Cherry boleh jadi menjadi lagu terpopuler, namun di sisi lain kritikus musik merasa bahwa Arsen menunjukkan penurunan kualitas gemilang yang dimilikinya. Memang berat untuk menerima semua kritik itu dan mengakui ada yang "hilang",  tapi kalau begitu terus, bukan hanya karir Arsen yang terancam. Tentunya bukan seperti itu hidup yang diinginkan Arsen, dibayang-bayangi kekosongan di dalam hatinya.

Sementara itu ada Alice Lila, yang bertahan menjaga kenangan keluarganya lewat Lilt, sekolah musik di pinggiran kota tempat ia mengajar kelas piano. Banyak hal tentang Alice Lila yang nampak berkebalikan seratus delapan puluh derajat dari Arsen Rengga. Dari penampilan dan tingkah-lakunya, Alice kurang-lebih merepresentasikan musik klasik kesukaannya, cantik dan anggun. Tapi saya kurang berani menjamin, sih, untuk sifat lain dari Alice - apalagi kalau belum mendapat asupan kafein karena bisa jadi super-galak, terutama ke Arsen kalau berulah. Nah, aneh kah buat kalian kalau seorang idola rock yang berantakan, berambisi besar, dan sulit dikekang seperti Arsen Rengga bisa punya relasi dengan seorang Alice Lila? Eits, hati-hati jangan sampai terburu-buru tanpa tahu lebih dalam, misalnya darimana keduanya berasal dan tumbuh. Lilt lah yang kurang-lebih menjadi benang merah bertautnya kedua insan berhuruf-depan A ini sejak mereka kecil, sebagai anak yang sama-sama menyukai musik (terlepas dari perbedaan preferensi genre nya).

Wednesday, November 7, 2018

BLOGTOUR INTERVIEW with WINDRY RAMADHINA: Penulisan SONG FOR ALICE dan Detail Menarik Lainnya!


...and now the blogtour is perfect, kalau kata saya~~ Maksudnya, blogtour nya sudah hampir tersempurnakan siklusnya karena tibalah giliran saya menyambut sebagai host juru kunci alias host penutup alias host terakhir dari rangkaian blogtour Song for Alice~~~

HAI, SELAMAT DATANG! Halo buat Anda yang baru pertama mampir ke A Book is a Gift, nama saya Risa, host ke-tujuh Song for Alice. Hai juga buat yang sebelumnya pernah mampir atau nyasar ke A Book is a Gift, semoga kalian semua sehat ya! Gimana kesan kalian yang sudah mengikuti blogtour dari host pertama? Gimana yang udah menang giveaway? Adakah yang masih penasaran sama Song For Alice? Hhee... saya rasa masih banyak sih yang penasaran banget pengen baca Song For Alice, apalagi ngedepetin bukunya gratis. Kalian datang ke blog yang tepat kok untuk itu, karena blog A Book is a Gift juga akan menyajikan setlist manggung, eh ngeblog maksudnya, yang sama dengan host-host sebelumnya. Akan ada interview (disini dan sekarang!), review, dannn GIVEAWAY!

Sabar dulu ya kalau kalian udah gak sabar banget pengin ikut giveaway dan menangin buku Song For Alice karena penasaran banget sama bukunya. Ijinkan saya terlebih dulu membagikan kepada kalian semua hasil sesi wawancara saya langsung dengan sang penulis, kak Windry Ramadhina.

WINDRY RAMADHINA lahir dan tinggal di Jakarta; percaya atau tidak, mampu mendengarkan berbagai bentuk rock, yang paling keras sekalipun. Dia menulis fiksi sejak 2007. Buku-bukunya banyak bercerita tentang cinta, kehidupan, impian, dan harapan. Song for Alice adalah bukunya yang kesebelas.

Windry suka membaca surat dan menjawab pertanyaan. Dia bisa dihubungi lewat e-mail windry.ramadhina@gmail.com, Instagram @beingfaye, atau blog www.windryramadhina.com

Saya kembali beruntung banget mendapat kesempatan untuk bisa ngepoin sosok penulis yang sudah saya kagumi sejak cukup lama ini //////. Menurut saya tulisan Kak Windry lekat dengan kesan elegan dan puitis nan aesthetic, kayaknya apapun yang ditulis Kak Windry jadi ada sihirnya tersendiri gitu deh dan saya bahkan baru baca satu buku beliau yang judulnya London: Angel (padahal Kak Windry sudah menulis sebelas buku termasuk Song For Alice), tapi sudah begitu berkesannya gaya menulis Kak Windry buat saya. Makanya, dipercayai penerbit Roro Raya Sejahtera untuk bisa menjadi host blogtour buku terbaru Kak Windry merupakan kehormatan yang sangat besar buat saya yang notabene hanyalah blogger buku seadanya~~ uwu.

Alhamdulillah banget dengan adanya kesempatan wawancara dengan Kak Windry, saya bisa menyampaikan kekepoan saya mengenai kepenulisan Song For Alice dan hal-hal lainnya. Apa aja sih hasil wawancara saya dengan kak Windry kemarin? Yuk disimak ya!

Thursday, September 27, 2018

THE MAN WHO PLAYS PIANO BLOGTOUR GIVEAWAY: Twigora x A Book is a Gift


Halo, Tuan dan Nona semuanya. Bagaimana, sudah baca sesi interview? Sudah baca review saya untuk The Man Who Plays Piano?  Sudah meninggalkan komentar di semua posting blogtour di sini? Saya harap sudah yaa karena akan krusial juga kalau kalian berminat memenangkan 1 (satu) eksemplar novel The Man Who Plays Piano gratis dari Penerbit Twigora. Kesempatan menang kamu cukup banyak lho karena giveaway diadakan di kesepuluh blog yang berpartisipasi sebagai host blog tour, dan blog ini, A Book is a Gift adalah blog yang ketiga. Jadi, semangat ya! *insert senyum manis Rizzi* ((YHA)).

Persyaratan giveawaynya mudah kok. Mohon disimak ya...

Wednesday, September 26, 2018

Dhi, Rufin. THE MAN WHO PLAYS PIANO: BLOGTOUR REVIEW & PHOTO CHALLENGE!


Halo, Tuan Pianis.
Permainan pianomu indah sekali. Sama indahnya seperti saat pertama kali aku mendengarnya beberapa bulan lalu. Aku sudah lama menjadi penggemar rahasiamu, mendengar dari jauh. Aku tahu dari seseorang bahwa kamu merahasiakan identitasmu, jadi aku tidak akan berusaha mencari tahu identitas aslimu.
Tapi, kamu tidak keberatan kan kalau aku menjadi pengagum rahasiamu?


Tertanda,
Pengagummu.
P.S. Aku merekam sedikit permainanmu untuk diperdengarkan ke adikku. Apa kamu tidak keberatan?
(hlm. 7)

PENERBIT RORO RAYA SEJAHTERA
NOVEL
THE MAN WHO PLAYS PIANO
Penulis: RUFIN DHI
SC; 14 x 20 cm
Jumlah Halaman: 240 hlm
Bookpaper 55 gr;
ISBN : 978-602-51290-1-8
Harga: Rp 67,000
"Genre": Love, Unyuness, Interesting Premise, Young Adult

Bersahabat dengan Nona Pengagum dan Kisah Manis yang Diceritakannya

Surat yang ditinggalkan Anka diam-diam untuk sosok pianis misterius di gedung yang dulu merupakan Fakultas Musik, setelah sejak dua bulan sebelumnya hanya menyimak permainan piano itu dari gedung perpustakaan fakultasnya, ternyata berbalas. Sejak hari itulah Anka bukan hanya penggemar rahasia, ia menjadi Nona Pengagum bagi Tuan Pianis yang sebelumnya memainkan piano tanpa mengira ada yang akan mengetahui tentang hobi rahasia tersebut sejauh ini. Meskipun keduanya bersepakat untuk tidak saling mencari tahu identitas masing-masing, tapi tetap saja Anka, sang narator dalam cerita, merasa berhutang budi pada Tuan Pianis. Permainan piano Tuan Pianis yang sudah ia rekamkan mampu mengembalikan senyum Erika, adiknya yang sakit keras. Melihat Erika, satu-satunya keluarganya yang tersisa karena kedua orangtua Anka telah meninggal sepuluh tahun lalu kembali tersenyum, sangatlah berarti bagi Anka.

Kini permainan piano Tuan Pianis menjadi makin dinanti-nanti oleh Anka setiap harinya antara pukul dua sampai tiga sore, begitupula balasan-balasan surat dari Tuan Pianis yang ternyata juga bersimpati dan menyemangatinya. Seorang pianis misterius dan pengagum rahasianya, rupanya kisah mereka tidak hanya sebatas berbalas-balasan surat tanpa nama. Tetap saja, ada perasaan yang terlibat, ada hati yang tersentuh, dan ungkapan terima kasih yang lama-kelamaan tidak cukup hanya ditampung pada selembar kertas. Tetap saja, menyimpan rahasia tidak selalu berarti bebas dari konsekuensi. Bagaimana kisah akan bermuara untuk Tuan Pianis dan Nona Pengagum?

"Kalau jatuh cinta membuatku jadi orang yang egois, lebih baik aku nggak usah jatuh cinta..."
(hlm. 124)  

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Back to Top