Monday, April 29, 2019

Liye, Tere. Tiga Buku Serial "Bumi": "Ceros dan Batozar", "Komet", dan "Komet Minor"


Bertemu “Ceros dan Batozar”, Melintasi “Komet”, dan Mengakhirinya di “Komet Minor”: Petualangan Seru di Dunia Paralel yang Tetap Membumi dengan Hikmah Berkesan

"Anak-anak ini keras kepala. Sekali menetapkan tekad, ...bahkan disuruh makan tepat waktu atau tidur lebih awal saja mereka susah. Namanya juga remaja. Susah diatur, masa-masa pencarian jati diri."
("Komet Minor", hlm. 218)

Tahun terbit: 2018 ("Ceros dan Batozar"), dan 2019 ("Komet" dan "Komet Minor")
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Edisi: Paperback, bahasa Indonesia
"Genre": Fantasy, Adventure, Awesomeness, Reflective
Beli bukunya dengan diskon 20-25% secara online di sini:
- Ceros dan Batozar (Bukabuku.com) (Gramedia.com)
- Komet (Bukabuku.com) (Gramedia.com)
- Komet Minor (Bukabuku.com)

Raib, Seli, dan Ali kelihatannya menjalani kehidupan yang sama saja dengan remaja sekolah menengah kebanyakan. Kalau sekadar bertemu, mungkin kita tidak akan sadar kalau sebenarnya mereka bertiga adalah petualang dan petarung dunia paralel. Bersama-sama mereka telah menjalani berbagai petualangan besar di dunia yang tidak terbayangkan oleh anak-anak seusia mereka. Raib yang bisa menghilang sebenarnya adalah keturunan murni Klan Bulan yang hanya muncul sekali dalam siklus dua ribu tahun, Seli yang bisa mengeluarkan petir dari tangannya sebenarnya keturunan Klan Matahari dengan teknik bertarung kinetik, dan Ali yang tidak hanya jenius, tapi juga adalah Klan Bumi yang mewarisi kemampuan langka. Mereka menjalani berbagai petualangan mengeratkan persahabatan bersama, yang tidak sekadar sahabat untuk ber-YOLO, have fun, dan eksis di pergaulan, tapi benar-benar persahabatan berfaedah berlandaskan kasih sayang tulus yang cocok menjadi panutan bagi pembaca.

Petualangan trio sahabat sejauh ini telah memungkinkan mereka singgah dan mengalami berbagai tantangan dan pembelajaran di Klan Bulan, Klan Bintang, Klan Matahari, dan Klan Bumi; semuanya sudah diceritakan dalam empat buku berbeda dalam serial Bumi. Saya yang selama ini mengaku sebagai peminat cerita fantasi, jujur saja merasa cukup missed-out karena tidak benar-benar menyadari adanya seri kisah fantasi persembahan penulis Indonesia ini, meski pernah mendengar tentang buku pertamanya, Bumi - dan itupun sekadar mendengarnya sebagai “buku baru karya Tere Liye”.

Untuk menjadi benar-benar terus terang, dalam persepsi saya nama besar Tere Liye selama ini adalah penulis yang lebih lekat dengan image karya di segmen drama dan romansa kaya bahan renungan dan inspirasi caption foto. Sudah lama saya punya akses ke beberapa buku beliau, antara lain yang judulnya “Ayahku Bukan Pembohong” dan “Berjuta Rasanya”. Hanya saja, selama ini pula saya belum pernah berkesempatan membaca satu pun, juga belum pernah memikirkan kemungkinan bahwa selain buku di genre fiksi drama itu, ternyata Tere Liye juga menulis di genre fantasi. Betapa mungkin akan berbeda keadaannya jika saya dari dulu tahu bahwa buku Bumi adalah cerita fantasi dengan premis sangat menarik. Kemana aja sih saya? Barangkali saya masih sibuk lebih banyak mengikuti perkembangan kisah fantasi penulis luar negeri seperti Rick Riordan dibanding benar-benar menyimak perkembangan cerita fantasi dari dalam negeri. Padahal sementara itu tidak terasa telah terbit judul demi judul buku dalam serial Bumi sampai pada akhirnya saya bisa dipertemukan dengan kesempatan untuk membaca seri ini dari buku ke 4,5nya, “Ceros dan Batozar”.

Aku sama sekali tidak menduga, beberapa jam lagi kami justru bertemu dengan sebuah misteri lain dari dunia paralel. Bukan di klan-klan dunia paralel itu, tapi di sini, di bumi, di klan kami sendiri.
(“Ceros dan Batozar”, hlm. 12)

Saya jelas tidak akan bilang bahwa mudah rasanya langsung menyimak petualangan dunia paralel ini dari pertengahan serinya. Tentunya akan banyak detail yang kurang saya pahami secara utuh dibanding apabila saya sudah mengikuti dan mendalami ceritanya dari awal. Ini sekalian menjadi disclaimer saya apabila ke depan nya dalam ulasan dan opini saya terhadap serial Bumi ini mungkin saja bisa ditemui banyak hal yang keliru dan kurang berkenan bagi yang sudah mengikuti dari awal. Harap maklum ya, teman-teman pembaca!

“Ceros dan Batozar” memperkenalkan saya dengan Raib, Seli, dan Ali saat mereka sedang karyawisata keluar kota untuk mengunjungi sebuah situs bersejarah. Untuk berangkat ke situs bersejarah tersebut, rombongan sekolah mereka harus naik pesawat selama kurang-lebih tiga jam. Rasanya cukup akurat untuk menebak bahwa situs sejarah yang dikunjungi adalah di Candi Borobudur, Jawa Tengah (harus saya sebutkan provinsinya karena masih sering disebut bahwa candi hebat itu terletak di Jogjakarta) - meski tidak disebutkan secara eksplisit. Asal kota dari trio sahabat ini juga tidak saya ketahui mengingat sejauh yang saya baca juga sama-sama tidak disebutkan, meski mungkin akan lebih menarik kalau bisa diketahui untuk membuat pembaca merasa benar-benar “dekat” dengan mereka dari detail latar belakang sesederhana kota asal. Well, tapi saya rasa Tere sebagai penulis buku sudah ada pertimbangan sendiri untuk menyamarkan sejumlah detail latar belakang trio sahabat, mungkin agar terasa lebih universal karena Indonesia begitu luasnya.

Cerita dinarasikan menggunakan sudut pandang orang-pertama dari Raib. Menariknya, biar begitu menurut saya kekhasan sifat Ali juga sudah bisa langsung diamati sejak lembar-lembar awal. Karyawisata dan pelajaran sejarah terlalu membosankan bagi Ali, apalagi setelah petualangan mereka selama ini yang sudah memperkenalkan pada banyak peradaban klan yang berusia ribuan tahun dengan segala teknologi mereka. Sensor dunia paralel yang dimiliki Ali pun berbunyi kencang memberitahukan ada kekuatan besar yang layak diselidiki, jadilah trio sahabat menyelidikinya. Well, perjalanan karyawisata yang sebenarnya diharapkan Raib akan berjalan lancar dan normal ternyata berbalik menjadi petualangan lain mereka berinteraksi dengan dunia paralel yang penuh hal-hal di luar bayangan.

Berbeda dengan buku-buku pendahulu atau setelahnya, “Ceros dan Batozar” tidak menceritakan petualangan mereka di sebuah klan yang ada di dunia paralel. Buku ini ternyata lebih seperti kisah pengisi yang tidak secara langsung melanjutkan pada cerita tentang perjuangan menghentikan si Tanpa Mahkota sebagai ‘musuh utama’ di serial Bumi. Tenang saja, kita sebagai pembaca tetap disuguhkan dengan petualangan lain untuk mengeksplor dunia paralel lewat kejadian dan orang-orang yang ditemui trio sahabat. Syukurlah meski saya bisa dibilang memulai serial Bumi dengan beresiko karena tidak dari awal, saya merasa tetap bisa mengenal dan mengikuti cerita dengan baik tanpa merasa kebingungan atau kebosanan. Tentunya tetap ada penyesuaian yang saya alami ketika mencerna beberapa istilah dan nama yang merujuk pada petualangan di buku sebelumnya, atau pada fakta bahwa kemajuan teknologi dunia paralel sekaligus kejeniusan Ali ternyata memang sudah sangat tinggi. Saya juga sempat dikejutkan dengan kelambanan saya mencerna informasi karena untuk beberapa lama saat mulai membaca “Ceros dan Batozar”, saya mengira Raib adalah laki-laki. Aduh, ‘dosa’ banget ya; sepertinya saya tertipu sama kesan nama Raib yang menurut saya terasa maskulin.

Syukurlah saya tidak tersesat terlalu jauh, dan segala proses penyesuaian itu tidak menjadi masalah berkepanjangan yang membuat saya terganggu dengan ‘logika’ cerita atau universe dunia paralel ciptaan Tere Liye ini. Saya lebih memilih untuk memusatkan perhatian dan mengantisipasi petualangan seperti apa yang hendak Raib, Seli, dan Ali alami, serta bagaimana karakter mereka sebagai tokoh-tokoh utama dan itu cukup membantu membuat saya menghayati atmosfir cerita. Saya masih ingat bagaimana saya langsung mendapat kesan ‘wow gila keren juga ternyata nih tiga bocah!’ saat menyimak adegan sewaktu trio sahabat digambarkan sedang bersiap-siap bertempur. Super badass!

Ali menggeram. Dalam waktu sedetik dia berubah, bertransformasi menjadi “beruang”. Tubuhnya tetap seperti manusia, tapi sarung tangannya berubah menjadi tangan beruang dengan bulu-bulu tebal. …
Aku juga lompat ke samping kanan Ali, memasang kuda-kuda, berkonsentrasi penuh. Kesiur angin kencang terdengar. Salju berguguran di sekitar kami. Aku siap bertarung bersisian dengan Ali. …
Tangan Seli terangkat ke atas. Seketika, sarung tangannya mengeluarkan cahaya terang-benderang. Ruangan kubus dengan sisi dua puluh kilometer itu seperti disinari matahari jarak dekat. Menyilaukan. Kapan pun tangan itu bisa mengirim petir biru.
(“Ceros dan Batozar”, hlm. 51)

Membanggakan rasanya melihat kekuatan trio sahabat yang buat saya sebanding kekerenannya dengan jagoan-jagoan di novel fantasi luar negeri yang biasa saya ikuti (misalnya Percy Jackson). Biar begitu, mereka bertiga keren tidak hanya dari segi kemampuan spesial mereka, tapi juga dari segi sifat-sifat mereka sebagai pribadi. Umur mereka mungkin masih belasan tahun, tapi saya sangat respek pada mereka! Saya juga merasa sangat bangga karena menemukan referensi budaya Indonesia dari objek dunia paralel yang ditemui trio sahabat dalam petualangan mereka yang diceritakan di “Ceros dan Batozar”.

Buku ke 4,5 tersebut ternyata memberikan awal dan perkenalan menjanjikan buat saya untuk sama-sama berpetualang dengan trio sahabat di dunia paralel. Buat saya Tere berhasil membangun universe dunia paralel dengan cara yang terasa orisinal dan menarik karena "aturan-aturan" dan seluk beluk dunia paralel terasa sudah disiapkan matang dan dilandasi penjelasan dan latar belakang yang logikanya tetap masuk akal, misalnya untuk menjelaskan perkembangan teknologinya, atau nama-nama klan yang awamnya dipahami sebagai nama benda langit. Tidak ada yang terasa sembarangan atau inkonsisten sehingga rasanya bisa dipercaya bahwa ada eksistensi dunia paralel sedemikian besar yang punya sejarah tersendiri tapi berkaitan dengan kehidupan kita. Satu logika yang bisa membantu untuk memudahkan dalam mendalami dunia paralel di serial Bumi adalah bahwa apa yang menurut kita terlalu muluk seperti sihir, sebenarnya merupakan hasil dari perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang di luar jangkauan kita. Seperti halnya manusia purba dulu menganggap api sebagai keajaiban yang layak disembah, kehebatan dunia paralel sebenarnya adalah hasil dari peradaban yang melampaui nalar kita saat ini. Ini poin yang menarik banget dan saya rasa ini menjadikan serial Bumi jadi terasa unik dibanding serial fantasi lain yang sudah saya baca.

“Itu bukan sihir. Itu teknologi. Hanya karena kita tidak bisa memahami logikanya, bukan berarti itu tidak masuk akal.”
(“Ceros dan Batozar”, hlm. 93)

Di luar keberhasilan membangun universe dunia paralel yang menurut saya nggak kalah dengan sajian fantasi bacaan luar negeri, yang lebih membuat saya salut adalah bagaimana Tere juga nampak berhasil dalam upayanya membuat serial Bumi ini tetap sarat makna moral untuk diteladani di dunia nyata. Boleh jadi setting dan kejadian yang dialami adalah fantasi, tapi cerita fantasi menjadi lebih sempurna ketika punya poin relatability yang bisa diaplikasikan di kehidupan nyata. Sejak membaca “Ceros dan Batozar” saya sudah mendapatkan kesan ini dengan kuat lewat sejumlah tema-tema luhur yang disampaikan Tere lewat dialog dan dinamika tokoh yang berpadu membentuk bacaan yang tidak hanya berkesan heroik, tapi juga menunjukkan keikhlasan, rela berkorban, dan kualitas diri positif lain yang patut dicontoh dan layak mendapat penghayatan emosional saya sebagai pembaca. Tere berhasil menyampaikannya tanpa membuat cerita yang disajikan jadi terasa terlalu menggurui, malah justru makin memegahkan kesan super badass dan bikin perasaan campur-aduk karena saya dibuat merasa sangat bersimpati dan peduli dengan tokohnya.

“Penduduk dunia paralel hanya sibuk dengan kekuatan. Mereka lupa bahwa seni bela diri terbaik adalah ‘keheningan di pagi hari’. Saat seseorang begitu damai, tenteram, tetapi di dalamnya begitu kuat, kokoh, dan mematikan.”
(“Ceros dan Batozar”, hlm. 270)

Meski menyajikan petualangan mengeksplorasi dunia paralel tanpa kembali berurusan secara langsung dengan antagonis utama alias Tanpa Mahkota, “Ceros dan Batozar” tetap sayang untuk dilewatkan karena kita juga bisa menemukan petunjuk penting menuju kunci mengalahkan Tanpa Mahkota di sana. Tidak heran setelah menyelesaikan “Ceros dan Batozar”, saya pun semangat melanjutkan membaca “Komet” yang menceritakan petualangan trio sahabat di Klan Komet. Resmilah saya menyimak bagaimana Tere menyajikan kisah petualangan utuh di satu klan dunia paralel; melanjutkan plot utama menghentikan niat jahat Tanpa Mahkota untuk menjadi petarung terkuat se-dunia paralel. “Komet” menjadi tempat saya pertama berkenalan “langsung” dengan tokoh antagonis utama serial Bumi, si Tanpa Mahkota. Raib kembali menjadi narator tunggal di buku ini dan menurut saya penuturan Raib tentang kesan yang dimilikinya terhadap Tanpa Mahkota memberikan gambaran yang khas mengenai tokoh tersebut. Cukup menghibur melihat mannerism Tanpa Mahkota, seperti dari cara bicaranya yang kesan ningratnya berasa mengingat tokoh itu keturunan kerajaan, dan bisa dipahami mengapa ia membawa ancaman yang besar. Seperti halnya cerita petualangan pada umumnya, dalam “Komet”, trio sahabat diceritakan harus mengalami berbagai ujian dan tantangan saat mengejar Tanpa Mahkota ke Klan Komet yang diduga menjadi tempat akses menuju lokasi sebuah senjata kuno terkuat berada. Pasukan gabungan Klan Bulan, Klan Bintang, dan Klan Matahari telah kehilangan jejak, tinggal trio sahabat yang punya kesempatan untuk mengejar Tanpa Mahkota.

“Setelah membacanya berhari-hari, memeriksa semua buku, aku akhirnya tahu apa sebenarnya komet. Itu adalah nama klan, salah satu dunia paralel yang amat unik, misterius. Klan itu tidak stabil seperti Klan Bumi, Bulan, atau Matahari. Klan itu selalu bergerak, melintas, persis seperti komet yang melintas.”
(“Komet”, hlm. 28)

Cerita yang disajikan dalam “Komet” berhasil dibawakan secara engaging tanpa mengkhianati bagaimana “Ceros dan Batozar” sudah memberikan kesan pertama yang memuaskan. Kembali bisa diamati bahwa penulis buku bisa membangun “dunia” di Klan Komet dengan matang; membuat Klan Komet punya ciri khas dalam penyajian latar tempat, tokoh, dan kejadian unik yang ditemui trio sahabat. Kalau kita perhatikan, sebenarnya ada nama Diena Yashinta sebagai co-author yang tertera di buku, mungkin kerjasama Tere dan Diena menjadi alasan kenapa serial Bumi sangat well-written secara konsisten. Saya jadi penasaran untuk mengeksplor juga tentang kekhasan yang dimiliki klan-klan lain di buku sebelumnya, karena bahkan menurut pengamatan saya pemberian nama-nama tokoh dari tiap klan juga seperti punya ciri khas sendiri, misalnya nama penduduk Klan Matahari terlihat terdiri dari tiga kata yang disambung. Patut diapresiasi banget sih, detail-detail seperti itu juga diperhatikan. Nah, masalahnya, cukup ekstrim bedanya dengan klan-klan lain, di Klan Komet hanya sedikit sekali teknologi canggih yang bisa diakses. Bagaimana trio sahabat akan menghadapi rintangan dengan keadaan itu, padahal mereka sedang menempuh pencarian yang sulit?

Sangat seru menyimak apa dan siapa saja yang mereka temui dan alami, serta tentunya bagaimana mereka berhasil melibas halangan dan rintangan yang ada. Tere nggak main-main menempatkan trio sahabat dalam pertaruhan yang besar nilainya, dan seakan “menggembleng” mental ketiga jagoan kita dengan sungguh-sungguh lewat segala hal yang mereka alami di Klan Komet. Trio sahabat dihadapkan pada tantangan dan situasi yang sulit dibandingkan dengan pengalaman mereka sebelumnya. Saya sih nggak bisa membayangkan gimana jadinya diri saya kalau harus menghadapi yang mereka alami.

Dari sisi kemajuan cerita tentang mencegah Tanpa Mahkota mendapatkan senjata kuno sebagai arc utama dalam “Komet”, saya merasa tetap bisa mengikuti dengan minat yang tetap terjaga pada perkembangan ceritanya. Tidak ada bagian cerita yang terasa nggak penting atau diulur-ulur meski trio sahabat harus bertemu banyak tokoh lain dan datang ke banyak tempat. Tere berhasil membuat pembenaran untuk semua hal yang dialami trio sahabat sebagai hal yang mengandung hikmah; ada porsi yang imbang untuk aksi dan investigasi karena sebenarnya petualangan mereka bertujuan untuk mencari petunjuk. Sudah begitu juga ceritanya pun memuat kejutan yang membuat saya geregetan tapi patut diberi applaus karena cukup membuat saya heboh sendiri mengingat disajikan saat menjelang akhir novel (...setelah semua yang dialami trio sahabat!) meski sebenarnya tidak tanpa petunjuk untuk menyimpulkan sebelumnya.

Dalam “Komet”, saya juga semakin merasa dekat dan mendukung perjuangan trio sahabat yang menurut saya memang bisa ditunjukkan oleh Tere sebagai tiga pribadi yang saling melengkapi sebagai tim. Persahabatan Raib, Seli, dan Ali memang bukan persahabatan sembarangan. Secara usia, mereka memang masih belia; tapi Tere berhasil memberikan teladan kesetiakawanan pada persahabatan mereka dengan interaksi dan dinamika yang realistis serta konsisten dengan karakter masing-masing. Perlu diapresiasi nih karena bagi saya yang mulai baca serial Bumi dari tengah, persahabatan mereka sudah jelas terasa; pastinya yang sudah membaca dari awal bisa lebih simpati dan relate kepada mereka bertiga.

“Kami juga menghadapi banyak bahaya, hal-hal yang tidak menyenangkan.” Seli menggeleng.
“Tapi sepanjang kalian tetap bertiga, itu selalu seru, bukan?”
Ali menggeleng. “Tergantung. Jika Raib sedang kumat cerewetnya, malah jadi rumit. Ini tidak boleh, itu dilarang. Atau Seli mendadak sangat sentimental, sedih berkepanjangan. Lebih-lebih, akulah yang selalu menyelamatkan mereka jika ada masalah.”
(“Komet”, hlm. 305)

Seiring melintasi kisah dalam "Komet", senang rasanya melihat bagaimana sifat satu sama lain berinteraksi pada trio sahabat, dan saya juga cukup puas melihat kekhasan Seli sebagai yang menurut saya paling lembut perasaannya bisa diberikan spotlight untuk disandingkan dengan keteguhan Raib serta kegeniusan Ali. Agak janggal sih melihat bagaimana penarasiannya agak berubah sewaktu menyoroti satu momen dengan Seli yang tidak dilihat Raib secara langsung karena jadinya sempat berubah menjadi narasi sudut pandang orang ketiga. Ini memupuk keinginan saya untuk berharap andai saja kita bisa menyimak kisah di serial Bumi dari sudut pandang Seli dan Ali juga, tidak hanya dari Raib. Kalau boleh jujur, ada kesan yang saya terima bahwa Raib seperti punya posisi yang lebih sentral karena penarasiannya selalu dipakai, tidak berganti-ganti dengan Seli atau Ali. Tetapi, lambat laun semakin saya mengikuti ceritanya, patut disimpulkan kalau Tere tidak berniat men-sideline-kan tokoh manapun karena semua tokoh punya perannya untuk membuat cerita jadi makin berkesan dan menarik, sesuai dengan karakteristik masing-masing.

“Komet” pun diakhiri untuk langsung dilanjutkan dengan “Komet Minor” tanpa ada jeda, karena timeline penceritaan “Komet Minor” benar-benar persis setelah akhir cerita “Komet”. Saya bersimpati pada pembaca “Komet” yang pasti geregetan banget ya nungguin gimana kelanjutan cerita trio sahabat setelah endingnya yang cukup "diguncang kejutan" sampai “Komet Minor” terbit. Saya sendiri pun tidak merasa perlu memberi jeda karena saya langsung melahap “Komet Minor” tanpa ba-bi-bu setelah selesai membaca “Komet”, penasaran!

“Akan tiba masanya kalian benar-benar menghadapi pertarungan hidup-mati, dan tidak ada lagi yang bisa menyelamatkan kalian kecuali diri sendiri.”
(“Komet Minor”, hlm. 63-64)

Yah, cukup banyak alasan untuk mengkhawatirkan trio sahabat; “Komet Minor” sudah diinfo di blurbnya sebagai buku terakhir dari serial Bumi. Dengan Tanpa Mahkota yang justru makin kuat (ini bukan spoiler), bagaimana Raib, Seli, dan Ali juga bisa menjadi lebih kuat untuk mengalahkannya? Rasa penasaran untuk melihat bagaimana Tere akan menyajikan petualangan pamungkas di “Komet Minor” bagi trio sahabat pun terbayar dengan jaminan keseruan baru karena ada sosok mentor super keren yang berpetualang bersama mereka. Pas banget, karena Klan Komet Minor terasa berbeda jauh dengan Klan Komet. Segala teknologi di sana lebih tinggi dari semua klan lain yang sudah dikunjungi trio sahabat, tapi di sisi lain, Klan Komet Minor juga menyimpan bahaya dan rahasia masa lalunya sendiri.

Jadi, seperti apakah dunia paralel itu? Apakah seperti sistem tata surya yang kami pelajari di sekolah? Galaksi. Konstelasi. Atau sebaliknya, nama-nama dan konsep bintang-gemintang itulah yang meniru dunia paralel. Atau dunia paralel lebih mirip komputer yang memproses berbagai aplikasi dalam satu waktu. Komputer itu adalah semesta dunia paralelnya, sedangkan aplikasi yang dibuka adalah klan-klannya, bekerja simultan tidak saling mengganggu, semua tetap ada di satu tempat.
(“Komet Minor”, hlm. 111)

Dalam “Komet Minor”, perjalanan trio sahabat mengenal dan menjelajahi keunikan Klan Komet Minor dibarengi dengan alur perjuangan menuju pertarungan akhir menghentikan Tanpa Mahkota. Tentunya tetap ada tantangan dan ujian yang dialami trio sahabat, tapi semuanya tetap terasa baru dan tidak mudah ditebak bahkan setelah sudah ada lima buku yang mendahului. Buat saya, itu menunjukkan kekreatifan Tere (mungkin bekerjasama juga dengan co-author juga) mengeksplorasi komponen fantasi hingga kemungkinan keanehan dan keajaiban yang bisa dialami trio sahabat bisa luas juga jangkauannya. Tere juga kembali berhasil menunjukkan kematangan perancangan semesta dunia paralel karena kita bisa menemui banyak detail tambahan untuk lebih memahami dunia paralel. Misalnya, sebenarnya sejauh dan sebesar apa dunia paralel itu, lalu ada juga detail tentang sejarah besar di dunia paralel; bagaimana dulu ada kelompok Pemburu hebat yang bertekad menghentikan ambisi buruk petualang antar-klan.

Tidak hanya itu, Tere juga sekaligus memberikan petunjuk kapasitas berkembangnya kisah petualangan dunia paralel setelah serial Bumi, antara lain lewat pertemuan trio sahabat dengan sejumlah karakter baru serta hal-hal yang mereka diskusikan; banyak hint bertebaran! Tokoh-tokoh menarik juga tetap bermunculan untuk dijumpai setelah seluruh lika-liku hingga buku ke-enam ini. Bravo, memang layak dibilang bahwa Tere adalah penulis yang matang dan terjamin untuk membawakan cerita secara andal. Akhir cerita serial Bumi pun buat saya termasuk rapi dan berkesan bukan karena alasan sederhana melihat siapa yang akhirnya menang, tapi juga bagaimana akhirnya pertarungan bisa dimenangkan. Saya juga mengapresiasi bagaimana Tere bisa memberikan ruang untuk hal yang sempat saya kira merupakan "pengisi cerita" belaka ternyata tetap punya hikmah dan peran juga saat menutup cerita.

Menyelesaikan membaca serial Bumi saya jadi seperti menemukan banyak pengingat moral dan bahan renungan sebagai buah tangan, di samping terhibur dengan petualangan. Sebagai buktinya, banyak banget halaman buku yang harus saya tandai karena memuat kutipan yang bagus dan mengena. Satu bahan renungan yang ingin saya angkat dalam ulasan saya ini adalah bagaimana saya merasa Tere Liye melakukan sejumlah paralelisme antara kondisi dunia nyata dengan di dunia paralel. Ada bagian-bagian yang saat membacanya membuat langsung terbetik di benak saya: “ah, iya! Mirip sama kejadian yang bisa kita alami atau amati sendiri, nih.” Misalnya saat menunjukkan adanya konflik fiksional di dunia paralel yang terjadi karena kebencian, dendam, atau prasangka. Ada juga momen di mana diselipkan sentilan pada kehidupan Klan Komet Minor yang sudah dibuat sibuk dengan teknologi tinggi, tapi saya rasa mengena juga ke kehidupan kita sehari-hari.

“Kalian tahu definisi keluarga, heh? Yang sibuk menghabiskan waktu di depan hologram canggih. Yang sibuk bekerja siang dan malam. Yang sibuk dengan kehidupan keseharian. Sibuk berkomentar banyak hal, sibuk membicarakan banyak hal, bahkan sibuk mengurusi kehidupan keluarga artis, para pesohor, sibuk sekali menyimak berita-berita gosip seolah mereka keluarga kalian, padahal bukan. Bisa aku tanyakan kepada kalian apa definisi keluarga? Mana keluarga sejati kalian? Apakah layar-layar hologram semu itu?”
(“Komet Minor”, hlm. 282)

Dari banyak sisi, menurut saya memang serial Bumi karangan Tere Liye ini sungguh-sungguh menyaingi atau bahkan melebihi kematangan penulisan seri fantasi yang selama ini saya suka (karangan Rick Riordan; harus diakui kalau memang sulit bagi saya untuk tidak membandingkan). Keduanya memang sama-sama menunjukkan kehebatan tokoh-tokoh generasi muda sebagai teladan, tapi dalam serial Bumi yang baru dibaca setengahnya, saya merasa sudah banyak sekali menemukan muatan kebijaksanaan tingkat tinggi yang bisa bicara langsung ke kehidupan sehari-hari sebagai komponen yang solid memberikan kekuatan cerita sampai akhir. Memang jadinya ada cukup banyak ke-inosen-an masa muda dari tokoh jagoan kita yang semacam dipertaruhkan, karena mereka harus menghadapi banyak kesulitan yang menguji mental jauh dibanding momen senang-senang atau momen badass agar kita bisa melihat hikmah dari situ. Tapi biar begitu pun, saya merasa bahwa hasilnya, sebagai pembaca saya tetap mampu melihat trio sahabat sebagai remaja biasa yang tetap bisa kita pahami perasaannya, pikirannya, perjuangannya.

Aku sungguh tidak pernah menyuruh orang lain berharap banyak kepadaku, karena aku hanyalah remaja usia enam belas tahun. Bukan salahku jika aku tidak bisa memenuhi harapan mereka.
(“Ceros dan Batozar”, hlm. 293)

Serial Bumi berhasil menunjukkan bagaimana meski dalam kisah fiksi, apalagi fantasi, nilai-nilai yang realistis tetap terasa kuat tanpa mengorbankan keseruan petualangan dan tetap bersahabat untuk dibaca bagi pembaca berbagai rentang usia; dari remaja hingga yang sudah lebih dewasa. Saya senang melihat bagaimana Tere tetap membuat cerita yang pesan moralnya tingkat tinggi dan nggak berasa (maaf) picisan, nggak klise sampai hambar ataupun predictable, serta tanpa menambahkan bumbu-bumbu romansa generik yang kadang suka muncul di novel fantasi dengan tokoh-tokoh remaja. Bisa dilihat bahwa meski pembaca tetap diperbolehkan menangkap bumbu-bumbu sampingan, Tere tetap konsisten menyajikan tema persahabatan untuk membingkai tokoh Raib, Seli, dan Ali. Dari tokoh-tokoh lain juga kita melihat contoh kasih sayang, kekeluargaan, dan kebijaksanaan memandang dan menilai sesuatu; semuanya melengkapi hikmah yang diberikan trio sahabat dan petualangan mereka. Interaksi Raib dengan Mama dan Papa saja sudah mengena banget bagi saya meski tidak berlembar-lembar diceritakan.

Pada akhirnya, yang telah saya alami setelah menyelesaikan “Ceros dan Batozar”, “Komet”, dan “Komet Minor”, menurut saya Tere Liye berhasil menyajikan kisah fantasi yang sangat membumi. Jangan tertipu atau terintimidasi dengan sajian memukau komponen fantasinya; teknologi yang terlalu tinggi bagi akal kita atau dunia dan peradaban kuno yang ternyata eksis secara paralel dengan kehidupan kita. Serial Bumi pada dasarnya adalah kisah tentang kekuatan persahabatan, berbuat baik, dan menjaga kemuliaan nilai-nilai kemanusiaan dalam diri yang membuat kita bisa tangguh menghadapi banyak kesulitan, bahkan meski kita tidak bisa menghilang, jenius, atau mengeluarkan petir.

Sebagai pembaca yang selalu mencari koneksi antara akal dan perasaan dengan yang saya baca, saya menemukan diri bisa terhubung dengan serial Bumi ini dengan baik. Saya mengapresiasi kematangan dan kerapian Tere mengenalkan dunia paralel serta petualangan tiga sahabat di dalamnya sehingga tidak membuat benak saya ribut sendiri karena protes atau bertanya-tanya memahami apa yang terjadi. Saya juga puas dengan pengalaman saya untuk terlibat secara emosional pada kisah dan tokohnya sehingga benar-benar peduli pada petualangan yang diceritakan. Terima kasih pada Tere Liye sudah menulis serial Bumi, juga Gramedia Pustaka Utama yang sudah menerbitkannya menjadi buku yang layak disebut sebagai salah satu kisah fantasi kebanggaan Indonesia. Desain kavernya juga juara banget, rasanya bikin makin bangga untuk dipajang. Mari kita nantikan kisah hebat lainnya di dunia paralel, karena serial Bumi jelas bukan yang terakhir, saya merasa masih banyak pertanyaan yang layak untuk dijawab dengan petualangan seru tapi tetap penuh hikmah lainnya dari Tere Liye.

 "Dalam petualangan ini, itulah kata kuncinya, bertahan selama mungkin. Tidak masalah kita kalah satu-dua pertarungan, atau malah kalah berkali-kali, tapi pastikan kitalah yang tetap berdiri tegak di akhir semua kisah."
("Komet Minor", hlm. 230)

2 comments:

  1. Ini serial fiksi fantasi indonesia yang benar-benar berisi. salut banget sama Tere Liye, penulis idolaku, multitalent, multigenre

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju! Salut memang ternyata Tere Liye juga nulis fantasi, padahal selama ini ngehnya Tere Liye quotenya buat caption Instagram .___.

      Terima kasih sudah mampir kak, ijin follow blognya ya!

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Back to Top