Mulai dari mana untuk membahas tentang perjalanan beradaptasi versi saya dan kaitannya dengan buku?
Perlu diberitahu kalau saya bukan hendak berbagi suatu kejadian atau peristiwa yang secara umum akan dibilang 'wah' ataupun mengungkapkannya sebagai seorang yang sudah 'bertransformasi'. Secara teknis saya masih... saya sendiri seperti halnya pada dua atau tiga tahun lalu, mbak-mbak kantoran usia seperempat-abad (meski kalau di tempat umum harus terima disapa 'Bu' padahal belum ada separuh-abad) yang suka membaca - dan kalau sedang niat dan kesambet akan dengan senang hati meracau tentang pengalamannya membaca buku-buku yang kebanyakan fiksi.
Baiklah, hampir semua atau memang semuanya fiksi.
Yang aneh, atau 'maksa' - bahkan dengan semua itu saya merasa tengah menjalani suatu proses adaptasi. Mungkin sobat kebal plot-twist sudah menebaknya, tapi mbak-mbak kantoran perempat-abad yang suka baca ini tentu saja punya koleksi insecurities alias ketidakamanan dan krisis personal selama rentang waktu dua sampai tiga tahun itu. 'Judul' nya juga ada-ada aja, dan ditimbun, seperti halnya timbunan buku bacaan yang kalau dipikir-pikir kok bisa ya kalap dan khilaf untuk dibeli.
Seringkali memang rasanya gampang banget untuk menimbun pikiran seperti halnya menimbun buku. Dalam kasus saya, pikiran-pikiran itu sebenarnya satu 'genre' dan premis: "Drama sendiri karena diam-diam memendam galau dan frustasi. Kenapa sih diri dan hidup saya gini-gini amat... Padahal si anu ya bisa gini dan si ani bisa gitu - terus kenapa saya nggak bisa-bisa ya?"
Ujungnya ya saya bisa konslet kalau dilanjutkan, dan untungnya (spoiler) saya bisa bertahan menghadapinya - sehingga bisa menceritakan dan berbagi pada kalian di sini. Kalaupun tulisan ini ada sedikit gunanya, paling nggak semoga bisa membuat yang mengalami hal serupa bisa merasa nggak sendirian.
Ya, daripada dibilang sudah 'bertransformasi', saya lebih nyaman untuk bilang bahwa saya sudah 'bertahan'. Dan segala puji pada Nya, saya selamat, atau bahasa londonya I survived.
Jadi ini dia (meski di judul sudah saya bocorin, sih...): Mengeksplorasi dan mengapresiasi bahkan sesedikit mungkin hal yang bisa saya pikirkan untuk disyukuri dalam hidup saya ternyata membuat saya beradaptasi lebih baik untuk bertahan di tengah timbunan ketidakamanan yang teronggok di sudut pikiran.
Tidak berarti saya kemudian mengabaikannya, lalu semua timbunan itu menjadi semacam beban tidak sadar yang sengaja disupresi, ya. Saya mengumpamakan bahwa timbunan dari ketidakamanan saya punya satu kesamaan 'topik': Kenapa saya nggak bisa 'memiliki' prestasi atau pencapaian atau titel atau entah apalagi hal yang bisa 'dimiliki' oleh orang-orang lain yang di mata saya lebih 'beruntung'? Kenapa ya saya kayaknya jadi yang ketinggalan melulu?
Lalu dari suatu sudut pandang, kelihatannya uraian itu jadi memungkinkan untuk diumpamakan kalau saya seperti terpancing untuk merasa terancam dan nggak aman kalau memperhatikan koleksi judul-judul buku orang lain. Bagaimana saya melihat koleksi orang lain itu seakan-akan dipajang bagus di rak mentereng, serba layak-pamer dan terbarukan.
Saya yang merasa punya koleksi nggak sepadan dengan itu semua pun jadi sering membebani diri. Saya merasa nggak mampu untuk bisa menyamai koleksi orang lain. Saya super galau ketika sempat mengira bisa punya satu 'judul' yang (menurut saya) bakal membuat koleksi saya kelihatan ulala~ tapi ternyata nggak bisa saya miliki.
Padahal, tanpa saya sadari saya jadi nggak fokus dengan apa yang sudah saya miliki. Mau nggak mau, yang tersisa untuk dilakukan pada akhirnya adalah menekuni judul-judul (yang saya anggap) seadanya di rak saya. Pengalaman nggak bisa memiliki judul yang ada di rak orang lain terlalu pahit untuk membuat saya betah berlama-lama, jadi daripada nggak melakukan apa-apa dan cuma pahit sendiri itulah yang saya lakukan. Jangan ditanya gimana rasanya, berat bangeet! Ya, ini agak hiperbola, tapi saya nggak akan menyangkal kalau ada masanya saya juga merasa semacam terpaksa untuk 'menekuni' yang ada di 'rak' saya.
Koleksi saya tentang keluarga dan kasih sayang tulus mereka ternyata banyak juga, dan itu menjadi salah satu yang pelan-pelan membuat beban untuk menekuni judul-judul yang ada dalam kehidupan saya menjadi sedikit demi sedikit berkurang. Lama-lama, menjadi jelas bagi saya kalau ternyata saya bisa sangat bahagia dengan judul-judul yang sudah ada. Malah, jadi heran sendiri kenapa bisa dulu sebegitu terpaku untuk memiliki dan mendapatkan judul-judul baru. Apa nggak capek, diri saya yang dulu? Yah, setidaknya ada yang akhirnya dipelajari.
Pada akhirnya saya sendiri merasa sedikit tidak menyangka akan menuliskan kata-kata ini: Semua yang pada awalnya terlihat seperti timbunan ketidakamanan bagi saya, lama-lama menjadi terasa lebih rapi dengan sendirinya seiring saya lebih mengapresiasi judul-judul yang ada dalam koleksi saya. Belum lagi dengan mempertimbangkan hal yang terjadi akhir-akhir ini, banyak orang kehilangan judul-judul yang berharga dari koleksinya.
Tidak benar rasanya bagi saya yang masih bisa memiliki sebagian besar, kalau tidak semua, malah - koleksi milik saya untuk terus membebani diri karena merasa seharusnya memiliki koleksi yang 'lebih baik'. Tidak terbayangkan bagi saya jika harus kehilangan judul-judul penting dari koleksi saya, pasti saya akan sangat menyesalinya.
Koleksi saya bukannya menjadi niscaya baru. Tapi dengan cara pandang berbeda, judul-judul yang telah ada di sana jadi terasa demikian. Meski sering dibilang klise, tapi saya nggak tahu bagaimana lagi harus mengungkapkan bahwa ternyata memang benar jika pada akhirnya semua yang awalnya membingungkan nantinya akan menjadi lebih masuk akal. Bisa dibilang seperti membaca novel misteri, yang merupakan genre buku fiksi kesukaan saya pada umumnya, khususnya pada karya-karya karangan Agatha Christie yang sudah setia diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama.
Terlalu besar godaannya bagi saya untuk menyebutkan judul-judul novel Agatha Christie yang belakangan saya baca (termasuk yang dibaca ulang), sehingga saya tentu saja akan mencoba melakukannya di poin-poin berikut. Judul-judul itu akan saya ‘libatkan’ (dengan agak memaksa) dalam perumpamaan untuk menjelaskan proses adaptasi yang saya alami untuk bisa membuat timbunan ketidakamanan saya menjadi lebih ‘rapi’ dan tidak lagi membebani separah dulu.
Sudah lama sejumlah besar judul-judul novel Agatha Christie menjadi bagian dari koleksi buku di rumah. Lucunya, meski sering mengaku mengagumi karya-karyanya, saya belum selesai membaca semua judul buku yang sudah tersedia itu. Kalau tidak kebetulan ‘mirip’ dengan kondisi saya dahulu, punya begitu banyak judul dalam koleksi saya tapi ternyata belum semuanya benar-benar dibaca, saya nggak tahu harus disebut apa lagi. Cocoklogi? Biarlah, namanya juga saya sedang berbagi pengalaman subjektif.
Dan tentu saja wajar bagi saya untuk mengalami masa-masa untuk pasang mata dan lirik-lirik koleksi cerita-cerita misteri lainnya yang jelas amat banyak di jagad literasi. Berpikir kalau sepertinya saya akan ketinggalan ‘tren’ kalau nggak punya atau nggak membaca judul-judul populer dari penulis Amerika Serikat hingga Jepang, tanpa sadar ternyata saya jadi kelepasan membeli one too many books yang akhirnya (tentu saja) menjadi timbunan. Terlalu terpaku untuk memiliki, mencapai sesuatu, kepada suatu bentuk ‘prestasi’ - saya jadi kurang dalam proses ‘eksplorasi’ dan ‘apresiasi’ yang sebenarnya penting untuk dimantapkan lebih dulu.
Mungkin bisa dibilang demikian lah gambaran proses penimbunan mental yang saya alami - tapi dalam hal ketidakamanan yang tentu saja sama sekali nggak terasa seasyik memiliki timbunan buku alias to be read. Dan saya hanya bisa lagi-lagi bersyukur dengan keputusan ‘sederhana’ saya - setelah sadar kalau saya tidak bisa selalu berharap bisa sering-sering beli buku ketika saya seharusnya bisa menghemat pengeluaran - untuk mulai membaca judul-judul Agatha Christie yang belum sempat saya jamah meski sudah lama menjadi bagian dari koleksi di rumah. Level eksplorasi ini juga ditambah dengan upaya saya untuk mulai membaca judul-judul novel beliau yang tidak memuat kemunculan Hercule Poirot! Ini penting untuk diungkit mengingat kekaguman saya akan sosok detektif fiksional itu sampai rasanya melebihi keheranan saya pada tokoh Sherlock Holmes yang (katanya) lebih terkenal itu.
Buku pertama dari kisah pasangan Tommy dan Tuppence yaitu The Secret Adversary yang sudah diterjemahkan dengan judul Musuh Dalam Selimut ternyata sukses membuat saya jatuh hati dan bersimpati pada pasangan detektif amatiran itu. Begitupula kisah Bobby dan Frankie di Why Didn’t They Ask Evans? (diterjemahkan menjadi Pembunuh di Balik Kabut). Ada sensasi keseruan tersendiri dalam menyimak tokoh yang bukan profesional dalam hal mengusut perkara ternyata bisa terlibat dalam petualangan yang menegangkan dengan mengandalkan kecerdikan, kerjasama, keberanian, dan mungkin keberuntungan. Saya nggak akan bohong, agak menyesal juga kenapa nggak dari dulu baca, tapi tentu saja lebih baik terlambat daripada nggak sama sekali, kan? Well, tapi saya rasa nggak perlu ada label terlambat dalam semua proses pribadi. Semua orang punya timing sendiri-sendiri untuk belajar memahami diri dan kehidupan masing-masing. Dan siapa bilang misteri yang seru hanya bisa melibatkan detektif?
Saya juga harus menyebut Crooked House (diterjemahkan menjadi ‘Buku Catatan Josephine’). Judul tersebut saya baca dengan tambahan dorongan berupa informasi kalau ceritanya diadaptasi secara live action sehingga saya pikir saya harus baca bukunya dulu sebelum menonton adaptasinya. Ceritanya ternyata amat sangat menarik dengan dinamika tentang kehidupan keluarga besar sebagai salah satu temanya. Saya merasa bisa amat terhubung dengan tema tersebut sebagai orang yang masih beruntung bisa merasakan untuk tinggal di rumah dengan banyak anggota keluarga sehingga menyimak ceritanya menjadi pengalaman yang berkesan.
Selain menegangkan dan bikin penasaran, menyimak cerita Buku Catatan Josephine membuat saya jadi merenungkan berbagai sisi dari menjadi bagian dari sebuah keluarga yang mungkin nggak akan terpikirkan kalau tidak terpancing oleh daya tarik (atau daya kejut) cerita ini. Rasanya saya juga merasa lebih bersyukur atas kebaikan yang ada dalam keluarga saya setelah membaca novel ini. Persisnya kenapa, lebih baik baca sendiri deh.
Baru menyebutkan tiga judul novel Agatha Christie aja mungkin udah terbayang ya kenapa novel-novel beliau rasanya nggak akan ‘basi’ meski sudah berpuluh-puluh tahun terbit. Saya selalu merasa salut dengan kehebatan cerita-cerita beliau yang bisa memikat, mengecoh, dan membuka pandangan dan pemikiran kita tentang seluk-beluk manusia dan kehidupannya lewat berbagai macam kasus yang tersaji. Banyak hal yang muncul dalam novel beliau terasa masih relevan hingga kini. Karena kalau dipikir-pikir, manusia sebenarnya sama saja meski zaman berubah, dan Agatha Christie selalu piawai meramu berbagai kisah yang sangat menarik karena psikologi yang terlibat di dalamnya. Makanya nggak mengherankan juga jika banyak judul karangan beliau yang diadaptasi ke media non-tulisan.
Jadinya cukup kebangetan sih kalau saya sampai repot-repot merasa ‘ketinggalan’ dalam hal menikmati cerita-cerita misteri. Sebabnya, bahkan seluruh kebrilianan dan keseruan yang bisa saya temui dalam judul-judul karangan Agatha Christie yang ada di koleksi saja belum khatam. Saya jadi merasa lebih bersemangat untuk melanjutkan eksplorasi dan apresiasi koleksi ini kedepannya, dan pastinya itu akan jadi pengalaman membaca yang seru banget.
Demikian pula dengan timbunan ketidakamanan saya yang sifatnya immaterial, meski mungkin awalnya berat dan susah dilakukan (contoh penghalangnya seperti: ‘hah memangnya apanya sih dari saya yang bisa dibanggakan?’). Semakin jelas buat saya bahwa sebenarnya amat penting untuk mengeksplorasi segala hal, entah sekecil apapun, yang tersedia dalam kehidupan saya akan tetapi mungkin sebelumnya kurang dianggap agar keberadaannya terasa lebih jelas.
Dari situlah kemudian saya bisa lebih lega untuk mengapresiasi hal-hal tersebut dengan semestinya daripada menyesal di kemudian hari. Hal-hal tersebut bisa apa saja, misalnya seperti contoh yang saya sebutkan yaitu keluarga yang baik dan menyayangi saya. Dan nggak perlu merasa bersalah jika perlu baca novel misteri pembunuhan dulu sebagai bagian dari proses untuk benar-benar mengapresiasinya.
Nggak hanya berhenti untuk buku yang sebelumnya belum saya jamah, bahkan membaca ulang cerita Agatha Christie juga memungkinkan saya menjalani proses beradaptasi untuk menghadapi pikiran yang menggoda dijadikan tambahan di timbunan ketidakamanan. Di sini saya akan menyebutkan satu judul yang mungkin familier: Death on the Nile (yang sudah diterjemahkan sebagai Pembunuhan di Sungai Nil).
Mirip dengan Buku Catatan Josephine, saya (kembali) mengunjungi kisah tersebut karena tahu bahwa akan ada versi adaptasi terbarunya untuk ditonton. Belum lagi karena cerita tersebut juga merupakan salah satu kasus Poirot yang terkenal. Meski berekspektasi untuk mengalami kembali keseruan dan ketegangan ceritanya, saya juga mendapati bahwa ternyata cerita tersebut juga memiliki bahasan menarik lain di samping pembunuhannya. Lagi-lagi, saya mungkin nggak akan menyadari itu kalau nggak melakukan baca ulang.
Amat menarik bagi saya untuk memerhatikan bagaimana Agatha Christie tetap menyelipkan tema drama percintaan ‘ekstra’ di novel yang kasus pembunuhannya sebenarnya sudah cukup miris dan menegangkan. Tanpa bermaksud membocorkan poin penting di ceritanya, saya merasa cukup takjub melihat bagaimana bisa-bisanya benih(-benih) asmara tetap mampu bertumbuh di atas kapal maut. Agak kocak, sebenarnya, sewaktu saya yang masih tahan berstatus lajang ini menyimak progresi penyelesaian konflik juga mencakup resolusi yang rapi kaitannya dengan hubungan asmara satu orang dengan yang lain. “Ya ampun sempet-sempetnya aja, tapi namanya jodoh emang nggak ada yang tahu sih.” kurang-lebihnya begitu di pikiran saya.
Menjadi terpikirkan bagi saya kalau cinta akan selalu bertahan, tidak peduli adanya maut ataupun teror. Atau malah justru karena adanya semua kekejaman itu maka cinta tetap menemukan jalannya. Yang disebut ‘cinta’ di sini juga bisa ditafsirkan secara luas, ya, sehingga bahkan tetap relevan bagi kaum betah lajang seperti saya.
Nggak bisa disangkal, saya jadi merasa perlu juga mengaitkannya dengan situasi saat ini. Saya rasa banyak yang akan setuju bahwa pandemi dan segala hal nggak-terpikir yang mengiringinya membuat kita merasakan lebih banyak ketakutan, ketidakpastian, dan semacamnya. Itu baru yang asalnya eksternal, padahal masalah internal seperti ketidakamanan personal juga tetap saja ada dan mungkin malah menjadi semakin intens.
Dengan situasi yang sarat ketidakpastian ini, juga menjadi nampak bagi saya mengenai pentingnya menjaga semua yang saya cintai selagi saya masih punya kesempatan. Menurut saya, di saat seperti ini sangat penting bagi kita untuk menguatkan daya ‘cinta’ kita, mulai dari diri sendiri hingga ke sesama manusia. Nggak perlu memaksa harus meraih prestasi mentereng ketika bisa tetap sehat dan berkumpul bersama orang tersayang sudah merupakan pencapaian tersendiri yang nggak bisa ditakar dengan tropi atau medali apapun. Dalam cara tersendiri, saya setuju bahwa kita sebenarnya sedang bersama-sama beradaptasi agar semua kebingungan, kekhawatiran, dan ‘ketegangan’ yang sayangnya bukanlah fiksi belaka bisa menghadirkan penyelesaian serta pemahaman masuk akal.
Tetap saja, perjalanan dan proses yang dijalani setiap orang berbeda-beda. Saya punya timbunan ketidakamanan sendiri dan masih berusaha menguatkan proses eksplorasi dan apresiasi terhadap koleksi personal yang membentuk diri dan kehidupan saya. Dari situlah saya bisa terus bertahan dan punya jalan untuk merapikan timbunan ketidakamanan itu karena sudah berupaya membuat hal-hal yang tadinya nggak masuk akal jadi lebih masuk akal. Prosesnya mungkin akan lama dan berat, tapi seperti halnya menyimak cerita misteri - selama kita menikmati menghidupi semua pengalaman itu, yakinlah bahwa semuanya akan masuk akal pada akhirnya.