Inilah kisah perjalanan yang akan membuat kita kembali pada sesuatu yang paling dekat, sejauh apa pun kita melangkah pergi. Sebuah perjalanan 'ziarah'; mengunjungi diri sendiri.
Penerbit: GagasMedia
Tahun Terbit: 2013
Edisi: Paperback; Cetakan pertama, bahasa Indonesia
"Genre": Travelling, Reflective, Kum(pulan)Cer(ita)
Harganya, bok, 73 ribu saya beli di Gramedhia, ukurannya mahal untuk saya beli "begitu saja" kalau buat buku lain. Buku "seri" The Journeys kedua yang saya beli ini (karena saya belum beli/baca The Journeys 2) seperti punya magnet tersendiri buat saya yang merupakan gabungan dari propaganda (?) nya di dunia maya dan dengan rasa tertarik saya sendiri... atau malah keduanya semacam linear karena saya "menerima promosinya" sebagai sejalan dengan mood dan selera baca saya. Saya memang masih mudah tergoda sama buku dengan dasar "reflective abroad traveliing" *colek STPC series dkk.* - alih-alih baca buku yang "menjelaskan bagaimana bepergian yang baik dan benar di suatu negara", buku yang menceritakan kisah-kisah reflektif dan berkesan sewaktu travelling serasa meniup pikiran saya *blow my mind, keleus! - salah jemahannya maaf =))* untuk membacanya *gigitin kuku gelisah-mupeng dalam imajinasi*
Apalagi, dengan format kumpulan cerita seperti buku The Jorneys 3 ini, cucok bagi saya yang progres membacanya sedang tersendaat untuk baca full-novel .___. 73 rebu gapapa deh, alhamdulillah amsih ada rejeki orangtua buat beli, semoga Allah selalu melancarkan rejeki mereka, amiin. Terus ternyata ada sejumlah yang disumbangin dari penjualannya, 500 nya kalau kata plastik pembungkusnya, sedikit amat ya, 5000 kek gitu. #kamusiapa
Saya merasakan semacam secercah harapan karena telah berhasil menamatkan satu buku di tahun 2014 ini, semoga buku yang masih antri diselesaikan (dibaca, belum yang ditulis sendiri *gak usah curhat*) bisa bernasib sama *w*
Maaf karena prolognya gak sopan banget langsung bilang harga disambung curcol .__.
Kumpulan cerita yang bisa ditemui dari instalasi (ecieh) ketiga The Journeys ini mengangkat tema umum "menziarahi diri sendiri" - dan akan membawa kita ke macam-macam destinasi di dunia yang telah dikunjungi penulis-penulisnya dengan kisah-kisah bernafas reflektif pada pengalaman "batin" yang jadi lebih "kaya". "Menziarahi diri sendiri" - seperti menemukan "kesadaran" lain yang ditemukan dalam diri sendiri terlepas dari seberapa jauh kaki telah melangkah (asek), meskipun bisa juga karena perjalanan yang diceritakan didasari niat untuk "ziarah" ingatan dan kenangan dari orang terkasih.
Berumahkan Kebebasan! yang ditulis Husni M. Zainal membuat saya semacam terngaga membayangkan "gaharnya" Devil's Pool Victoria Falls dan jeram Zambezi (bukan, bukan yang katanya banyak di sayur bayam... zat besi *krik) di tanah Afrika OAO. Cerita penulis tentang pengalamannya di sana memang pantas dengan tanda seru di judulnya. Namun Siapa yang sangka kalau sampai di tempat sejauh itu pun, pada akhirnya membawa sang penulis pada perasaan "kebebasan" yang familier~
Saat hati kita kembali mengecap perasaan yang sama dan memberikan kenyamanan, sejatinya kita telah pulang.
Kisah "sumbangan" Dina DuaRansel, Don't You Miss Home, Though? juga memberikan sensasi petualang banget dengan "way of life" penulis dan pasangannya untuk hidup berkelana tanpa rumah tetap. "Selenting" pengalaman mereka menjelajahi dunia, di tanah New Zealand dan dekat dengan alam yang diceritakan di sini akhirnya akan menjawab pertanyaan yang menjadi judulnya. Usai membeca cerita kak Dina ini bikin saya mencatat dalam diri sendiri untuk menjenguk blognya kapan-kapan.
Cerita berikutnya juga dibawakan oleh penulis yang juga dikenal di dunia blogging, Alitt Susanto yang menceritakan pengalaman dan refleksinya ketika berkunjung ke Singapura dalam Antara Singapura dan Rumah Mama. Latar belakang penulis yang bermain di dunia humor-anak-muda (??) membuat cerita ini menuai tawa saya ketika membaca bagian "kebodohan" si penulis di kamar hotel. Seriously! But nevertheless, kunjungan gratis Alitt ke Singapura menjadi awal dari pelajaran tentang jati diri ketika Alitt menemui mamanya di Batam. Ditulis dengan jujur, apa adanya, saya juga menemukan diri saya ikut belajar dari apa yang dipelajari Alitt tentang "memperbarui jati diri dan mimpi" yang seharusnya gak berhenti.
Pelajaran dari orangtua terkasih juga gak lekang "hanya" ketika yang bersangkutan masih hidup di dunia, tapi juga ketika telah mewujud menjadi kennagan. Seperti yang dituturkan Arev Rahman dalam Kisah Sushi Nomor Satu di Dunia. Kenangan tentang ayah membuat Ariev menapakkan kaki di Jepang, berharap dapat menapak tilas keping-keping kenangan yang ditinggalkan ayahnya ketika berkunjung ke Jepang di masa lalu, antara lain untuk menemui sushi terenak menurut sang papa di sana. Saya menemukan diri saya tersentuh sekali pada kenangan tentang papa yang dapat kak Ariev ceritakan di sini T T.
Seorang teman saya pernah berkata pada saya bahwa bagaimanapun kencangnya waktu berlari, kenangan tidak akan menua dan mati. Kenangan akan tetap hidup di hati orang-orang yang percaya, bahwa mereka ada.
Kisah dari kak Lucia Nancy membagi pengalamannya memperbarui pandangan tentang solo-travelling-dan-ke-Indonesia-Timur. Di mana dari perjalanan seorang dirinya dalam Timur Nusantara: Perjalanan Pulang ke Rumah ia justru menemukan orang-orang baru yang dapat memberinya suasana rumah, serta bahwa segalanya tidak melulu soal apa yang direncanakan.
Saya menjadi sadar, banyak hal yang bisa terjadi di luar rencana kita dan hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah mencari solusi dan menikmatinya, bukan malah menggerutu.
Seperti halnya kak Lucia yang menemukan hal-hal baru untuk direnungkan dengan pandangan sendiri, kak Alfred Pasifico dengan pengalamannya di India meskipun bertujuan utama ke Tibet, menemukan "kontradiksi" tentang cinta dalam Adakah Cinta di India?. Kisah ini seperti gak secara langsung menuturkan secara eksplisit tentang "menemui diri sendiri" seperti cerita sebelum-sebelumnya, namun saya mendapati bahwa apa yang penulis temukan dan "simpulkan" soal cinta dan pernikahan India sangatlah menarik.
Karena India bukan tentang kesempurnaan. Mungkin India adalah tanah ketidaksempurnaan. India menyediakan ruang untuk ketidaksempurnaan dalam hidup.
Mereka menarik batas tegas antara kemauan dan kebutuhan, antara wants dan needs. Apa yang kau mau tidak selamanya persis dengan apa yang kau butuhkan. Dan pengharapan selalu punya batas.
Pengalaman kak Valiant Budi, Valiant ke Vatikan juga saya nikmati ketika membacanya karena penasaran dengan apa yang akhirnya kak Valiant dapat dari kunjungan ke Vatikan, dengan gereja Katolik terbesar di dunia. Pada akhirnya, memang merupakan suatu oleh-oleh reflektif yang bagus tentang indahnya kebersamaan atas nama manusia, seperti kata kak Valiant.^^
Cukup atas nama manusia saja, bila ternyata embel-embel identitas lainnya hanya membuat kita meniadakan cinta.
Cinta juga lah yang membawa kokoh Alexander Thian untuk memberikan kunjungan kejutan pada mamanya di Hong Kong, dengan cerita kocaknya ketika nyasar saat berjuang menemukan jalan di hiruk-pikuk Hong Kong, lengkap dari ditipu sampai dijudesin =)) Saya pribadi juga sangat terhibur membaca pengalaman kokoh satu ini yang rasanya tidak ada duanya, tapi juga tanpa kehilangan momen trenyuh nya ketika kokoh Lex sudah bertemu dengan mama :'). Saya jadi ingat sama mama saya sendiri :').
Dulu, Mama pernah bilang, kalau beliau mengomel, artinya dia masih sangat sayang, masih sangat peduli. Kalau dia sudah tak mengomel dan diam saja, maka itu pertanda bahaya, pertanda dia sudah tak lagi peduli. Anak mana yang mau tidak dipedulikan mamanya sendiri? ...She did things because she loves me very much.
Bentuk lain "objek cinta" disajikan selanjutnya oleh kak Farid Gaban dalam Mari Mabuk, di Dalam Laut! yang terasa sekali menggambarkan kecintaan penulis terhadap kekayaan hayati dalam laut Indonesia. Detil-detil yang mampu diceritakan kak Farid bikin yang membaca cukup hanya bisa mupeng dulu dan gigit jari membayangkan keindahan sebenarnya =)). Refleksi yang bisa saya tangkep antara lain bahwa laut dengan kekayaannya adalah bukti dari kuasa Tuhan dan seharusnya selalu bisa mengingatkan manusia tentang betapa kecilnya diri di alam semesta ini, and for that, saya acungi jempol setuju^^
Jika kita menyederhanakan hidup, kata Thoreau, hukum alam semesta akan menjadi lebih sederhana. Uang dan benda tidak bisa membeli kebahagiaan spirtiual. "Kekayaan seorang manusia diukur dari sejumlah benda dan hal-hal yang sanggup dia biarkan tetap seperti apa adanya."
Masih soal bikin mupeng dan gigit jari, cerita kak Hanny Kusumawati dari pengalamannya di tanah Yunani juga memberikan efek yang sama TwTb. Keindahan Fira, Oia, dan tempat-tempat di pelosok-pelosok Santorini lainnya terekam dengan dilengkapi bentuk keindahan kehidupan yang direkam kak Hanny, dari pertemuannya dengan orang-orang di sana. Ada Antonio si penyedia sewa skuter dan ATV, Pak Tua Vagelis yang membuka toko kecil, George si pemilik hotel yang ditinggali kak Hanny (pengen catet nama dan alamat nya buat kapan-kapan u,u), sampai Alex yang kinda cute, kalau kata Kak Hanny. Ternyata banyak keindahan dan kebaikan yang bisa ditemukan dari sekadar berhenti dan menyapa, Berhenti Sejenak. Kisah yang dibawakan Kak Hanny terasa begitu manis dibaca that it almost feels like a dream, but maybe even a fairytale with the "lessons" it carries within its wonder. Kak Hanny membagi pertemuannya dengan kesadaran versinya sendiri mengenai kebaikan, keindahan, bahagia, dan "rumah" - how that it makes a good life.
Ketika kita berhenti sejenak, waktu seakan berlalu lebih lambat. Momen tidak hanya sekedar lewat, tetapi meninggalkan jejak. Wajah-wajah meninggalkan nama. Kata-kata meninggalkan makna. Setiap interaksi meninggalkan koneksi. Setiap kesan meninggalkan kenangan yang selalu bisa diputar ulang. Dan kita, kita tersimpan dalam banyak ingatan.
Kerennya pengalaman kak (oke dari tadi saya sok akrab) Ve Handojo dengan Slow Travelling in Sydney juga bikin mupeng-dan-gigit-jari ketika saya membacanya =)). Seperti kak Hanny, kak Ve juga menemukan "versi sendiri" yang berhubungan dengan pandangannya sendiri mengenai travelling-as-it-should-be, merasai kehidupan penduduk lokal, tahu tempat bagus yang gak ditawarkan biro travel, juga bikin saya mencatat dalam diri untuk kapan-kapan cobain airbnb.com. #plak And I envy you, kak Ve, while after all of that, you came to Sydney to see Coldplay's concert TAT, someday, someday the time shall come for me =)). Amin.
Selanjutnya, cerita dari kak JFlow ketika ke Kediri dalam rangka Kembali ke Akar "Jawa" dari pihak ibunya setelah "mengesahkan akar Ambon"nya, merupakan kisah yang tidak saya sangka juga menjadi salah satu yang berkesan bagi saya. Masalahnya, saya tidak menyangka kalau kak JFlow yang saya tahunya adalah seorang entertainer, penyanyi, ternyata bisa menghasilkan tulisan yang sangat enak untuk dibaca. Cerita dari kak JFlow ini membuktikan bahwa tidak perlu destinasi yang terlalu wow untuk bisa memperkaya pandangan, karena semua tergantung dari cara kita "memandangnya". Salut dengan refleksi dan pengamatan dan pengalaman yang diceritakan sampai akhirnya menemukan banyak pelajaran baru. A heart buat pengalaman-pengalaman yang dibagikan, termasuk pada orang-orang yang ditemui di sepanjang perjalanan.
Cinta adalah keputusan, bukan semata perasaan.
Hal-hal yang saya anggap menjadi kualitas pribadi yang saya temukan entah di mana, ternyata sudah mengakar dan dijalankan oleh keluarga besar ibu saya. Yang selama ini saya anggap membosankan ternyata adalah kesederhanaa. Yang saya kira kekunoan ternyata adalah penghormatan terhadap tradisi. Apa yang selama ini saya labeli 'kelambanan' ternyata adalah kecermatan dalam bertindak. Yang selama ini saya kategorikan sebagai 'ketidaktegasan' dalam bersikap ternyata adalah kelembutan dan kebijaksanaan. Dan apa yang saya tuduh sebagai kelemahan dan sikap mudah menyerah, ternyata adalah sikap berbesar hati dan mengalah untuk menang.
Last but not least, adalah kisah dari penulis-editor yang saya bilang sebagai salah-satu-yang-saya-antisipasi untuk dibaca cerita-perjalanan-reflektifnya, terutama setelah membaca life Traveler, yaitu dari kak Windy Ariestanty dalam judulnya yang serasa pas banget menjadi "cerita sebelum menutup buku" - Menerjemahkan Bahagia. Senada dengan yang dari kak JFlow, cerita dari kak Windy juga kaya dalam "kesederhanaan" dari actual-travelling-things nya, bukan soal di mana dan ke mana (tapi kenapa saya jadi kepikiran Ayu Ting-Ting, ya, oke skip), tapi soal "si pejalan" yang selalu bisa jadi lebih kaya terlepas dari ke mana dan ngapain dirinya. Oke, meskipun, Kak Windy cerita dengan mengkaitkan "soal Ubud" - tempat di Bali yang banyak diasosiasikan sebagai mendatangkan kebahagiaan. Tapi apakah sebegitunya? Dan Kak Windy akhirnya menjawab dengan "versinya sendiri" bahwa terlepas dari keinginan dan harapan yang bisa menjadi sumber dari ketidakbahagiaan, bahagia adalah tentang merasa cukup.
Kita yang memainkannya,
kita yang menciptakannya.
Tak perlu menunggu, apalagi mencari bahagia.
Afterall, buku ini sudah sangat lebih dari cukup untuk membuktikan catchphrase di covernya: "Yang Melangkah dan Menemukan" - semua kisahnya adalah tentang apa yang telah dibawa pulang dari setiap perjalanan yang membuat para penulis melangkahkan kakinya dan menemui hal-hal yang pada akhirnya memertemukan dengan pemahaman dan kesadaran dalam diri sendiri, sejauh manapun kaki melangkah. Ilustrasi dan foto-foto disematkan apik, memperindah cerita-cerita yang telah dibawa pulang para penulisnya. Hasil akhirnya bagi para pembacanya, adalah buah tangan yang sangat berkesan :)
belum pernah baca Jpurney, rasanya buku ini membuat kita lebih kaya ya?
ReplyDeleteWah baca aja kak :D keren soalnya, dan iya bisa dibilang begitu, kaya "mental" sama prospek jalan2 yang gak sekedar jalan-jalan haha.
DeleteTerima kasih kak tez ^^
terima kasih banyak untuk reviu the journeys 3-nya. senang sudah melakukan perjalanan bersama meski cuma lewat buku.
ReplyDeleteTerima kasih banyak kak sudah ninggalin komen... ditunggu perjalanan selanjutnya ya kak xD dan ditunggu juga talkshow/seminar/workshop nulisnya di Semarang :'''
Delete