Margo always loved mysteries. And in everything that came afterward, I could never stop thinking that maybe she loved mysteries so much that she become one.
Penerbit: SPEAK, an imprint of the Penguin GroupTahun terbit: 2008Edisi:: Paperback, 1st ed, bahasa Inggris
"Genre": Love, Mystery, ContemplativeMakasih ya Sany, udah jadi penyedia (??) dan peminjam buku John Green buat saya ='))b
Jangan ketinggalan untuk punya bukunya ya!
Saya mengingat tentang "blues clues" - ketika kita sama-sama mencari petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan si anjing biru untuk kita agar dari petunjuk-petunjuk tersebut - yang biasanya berupa suatu objek atau benda (oke, sama aja), pada akhirnya akan dapat "disatukan" menjadi suatu pemahaman dari apa yang dimaksud dan diinginkan si anjing. Dulu sewaktu saya masih lebih belia (#...) dan rajin menonton siarannya di teve, mengikuti Steve (si pemilik atau "majikan" Blue) mengelilingi rumahnya mengumpulkan dan menemukan petunjuk Blue terasa seperti suatu petualangan yang menyenangkan, lebih tepatnya, petualangan kecil yang disatu sisi juga tak-terbayangkan. Mungkin karena di rumah saya tidak ada pasangan garam dan merica yang bisa bicara, atau kotak pos yang bisa bernyanyi (?) - atau "keajaiban" yang lainnya.
Quentin "Q" Jacobsen juga tidak pernah membayangkan dirinya dalam suatu petualangan ketika notabene ia sendiri tahu bahwa ia tidak pernah keberatan pada rutinitas, namun Q memiliki keajaibannya sendiri berupa Margo Roth Spiegelman, yang tinggal di sebelah rumahnya. Keduanya adalah tetangga yang sudah saling mengenal sejak kecil, meskipun seiring waktu dan pergaulan masing-masing berlalu (?), saat SMA mereka hanya bersikap-sekadar-saling-kenal, Q tidak pernah berhenti menganggap Margo sebagai suatu "keajaiban". Rasanya wajar jika Q yang "lurus-ayem" itu menyimpan ketakjuban pada Margo yang penuh petualangan, dan segala sesuatu yang tak sanggup dibayangkan Q dengan hidupnya yang "normal dan rutin".
My days had a pleasant identicalness about them. I had always liked that: I liked routine. I liked being bored. I didn't want to, but I did. And so May fifth could have been any day - until just until midnight, when Margo Roth Spiegelman slid open my screenless bedroom window for the first time since telling me to close it nine years ago.
Suatu malam yang memuat kesan de-javu dan kenangan-masa-kecil itu pun menjadi malam yang penuh debar (sampai sini awas jangan ngeres #...) saat Margo mengajak Q melewatinya untuk melakukan sebelas-hal-penting yang takkan pernah dibayangkan Q dilakukannya jika tanpa Margo.
"Q. Darling. How long have we been dear friends?"
"We're not friends. We're neighbors."
...
"Tonight, darling. We are going to right a lot of wrongs. And we are going to wrong some rights."
Well, dan intinya malam itu pun mereka melakukan hal-hal yang sudah direncanakan Margo, dan harus saya akui bahwa hal-hal tersebut serta keseluruhan episode-malam (?) itu sangat menunjukkan karakteristik-diri Margo yang unik dan beda dan anti-mainstream (#...), sederhananya, membuat saya paham mengapa orang seperti Q begitu takjub pada sosok seperti Margo. Nggak salah jika Margo pun juga seperti highschool-legend di sekolah karena kapasitas hal-hal tak terduga dan "keren" yang bisa dan pernah dilakukannya. Lalu mengapa sang legenda-sekolah (?) mengajak Q yang "baik-baik saja" itu melaksanakan sebelas-rencananya malam itu? Apakah berarti nanti di sekolah, akan ada yang berubah, lalu Margo dan Q tidak lagi sekadar-kenal dan Q tidak lagi mencuri pandang pada Margo seperti biasa di lorong-utama (#...)?
Ya, di sekolah, yang berubah adalah, bisa dibilang, "keberanian" dan "kepercayaan diri" Q untuk menghentikan antek-antek bully berkat "senjata rahasia" sepulang dari malam-dan-dini-harinya dengan Margo - secara keseluruhan membuat hari-hari terakhir SMA terasa lebih baik. Meskipun demikian tersingkaplah fakta lain bahwa Margo Roth Spiegelman tidak datang ke sekolah hari itu dan hari-hari selanjutnya, Margo menghilang. Meskipun menghilangnya Margo bukan pertamakalinya, entah mengapa Q merasa "kepergian" Margo yang ini tidak seperti biasanya. Terlebih, ketika Q sadar bahwa ada remah-remah roti kecil yang sepertinya ditinggalkan Margo untuknya, dan Q pun bertekad untuk menemukannya. Mungkinkah Q adalah untaian (the strings) terakhir Margo yang belum terputus?
I didn't know the answer, but of course I had my hopes: maybe Margo needed to see my confidence. Maybe this time she wanted to be found, and to be found by me. Maybe - just as she had chosen me on the longest night, she had chosen me again. And maybe untold riches awaited he who found her.
Kisahnya yang sebenarnya dari awal terasa fun, goofy, dan "muda" dengan gambaran kehidupan-keseharian-Q-di-SMA-bersama-sobat-sobat, Radar dan Ben serta "keseruan" malam-bersama-Margo-dan-efeknya beranjak jadi lebih seru ketika Q berusaha memecahkan petunjuk Margo. Tidak cuma seru, sih, tapi juga beranjak lebih "thoughtful" dengan berkembangnya konsep-konsep metaforis (yang cukup bisa diharapkan dari om John^^) sehubungan kepergian Margo. Setelah tentang The Strings, atau "untaian", muncul konsep tentang "rerumputan" (The Grass) - ketika manusia pada dasarnya terhubung pada akar yang sama sehingga seseorang dapat merasakan dirinya menjadi seseorang lainnya.
"If you choose the strings, then you're imagining a world in which you can become irrepably broken. If you choose the grass, you're saying that we are all infinitely interconnected, that we can use these root systems not only to understand one another but to become one another. The metaphors have implications."
Q pun perlahan-lahan mengungkap dan mengevaluasi sosok Margo - yang selama ini ia pikirkan dan yang "terlihat" sebenarnya dalam perjalanannya menemukan dan mengurai petunjuk Margo. Petunjuk Margo sempat menuntun Q pada sebentuk paper towns yang berupa subdivisi ("kawasan") terabaikan yang berisi bangunan-bangunan dan sisa pembangunan yang ditinggalkan, dengan ketakutan apabila Margo telah ditemukan telah mati - namun ke manakah Margo pergi, mengapa ia meninggalkan petunjuk, apakah ia ingin ditemukan? Q perlu dapat memahami diri Margo untuk bisa menemukan jawabannya. Ia berkembang menjadi semacam "terobsesi" menemukan Margo dan kadang-kadang jadinya bikin saya sebel (#apaurusanmu), tapi untunglah sahabat-sahabat Q bisa menghibur saya sebagaimana mereka mendukung dan membantu Q.
Ben dan Radar sebagai tokoh sahabat-sahabat Q menurut saya menarik juga dan gak terasa tempelan. Radar itu jago komputer, tepat-waktu, dan selalu bisa Q andalkan sementara Ben itu "ngeres" (LOL) tapi bro banget di saat Q gak menduga akan membutuhkannya (#...). Persahabatan Q-Ben-Radar (sekali lagi) menghibur dari segala urusan Q-dan-Margo, tapi tidak hanya sekadar itu. Dari kedua sahabatnya, Q juga jadi paham sama apa yang dibilang orangtuanya (yang kerja sebagai terapis) bahwa orang saling melihat dengan "cermin" dan "jendela" dan kadang orang memakai cermin yang salah untuk melihat orang lain. Begaimanapun kedua sahabatnya, dengan kekerenan dan ke-a**hole-an masing-masing (terutama Ben, hahaha), mereka bertiga tetap "saling menyukai". Begitupun juga dalam urusan menemukan Margo, Q melihat Margo sebagai sesama-"orang" (people, apa tuh padanannya).
"...humans lack good mirrors. It's so hard for anyone to show us how we look, and so hard for us to show anyone how we feel."
"But isn't it also that on some fundamental level we find it difficult to understand that other people are human beings in the same way that we are? We idealize them as gods or dismiss them as animals."
"True. Consciousness makes for poor windows too."
...
The fundamental mistake I had always made - and that she had, in fairness, always led me to make - was this: Margo was not a miracle. She was not an adventure. She was not a fine and precious thing. She was a girl.
Hasil akhir pencarian Q terhadap Margo pun membuat Q juga dapat "menemukan konsep metaforis" lain tentang bagaimana orang dapat "saling melihat dengan benar" ketika masing-masing orang sebagai "wadah" (Vessels) yang saling retak-membuka (cracked open, sori saya bukan penerjemah #DARITADI).
"...each of us starts out as a watertight vessels. And these things happen - these people leave us, or don't love us, or don't get us, or we don't we get them, and we lose and fail and hurt one another. And the vessel starts to crack open in places. ... And it's only in that time we can see one another, because we see out of ourselves through our cracks and into others through theirs. ... Before that, we were just looking at ideas of each other,"
Pada akhirnya buat saya buku ini mengangkat soal "melihat diri sendiri dan melihat orang lain sebagai 'orang'", gak semata-mata soal romens dan petualangan-mencari-petunjuk. Om John (#...) berhasil memasukkan soal itu tanpa kehilangan "humor sarkas" khasnya (selama ini baru baca dua bukunya sih), "keasyikan metafora" dan keseluruhan cara menceritakannya. Metafora The Strings, The Grass, dan The Vessels nya berhasil cukup "melekat" di pikiran saya (dalam cara yang bagus) - beserta soal paper townsnya. Pengertian soal paper-towns ini memang semacam berkembang di sepanjang cerita - dari makna tentang kota yang begitu "semu", lalu soal "wilayah" yang ditinggalkan, sampai sebagai suatu bentuk jebakan hak-cipta (copyright traps) tentang kota yang ada di peta untuk jadi acuan jika peta tesebut dipalsukan. John Green memang semacam "jenius" untuk dapat meramu fakta tersebut ke dalam cerita YA dengan tokoh anak (mau lulus) SMA dan setting romens, pula.
Memang sih, ada catatan dari saya yang sebenarnya cukup gak terkesan pada tindakan perginya Margo. Saya tahu, sih, kepergian Margo itu seperti meninggalkan kota dan orang-orang yang mungkin sudah terlanjur mengenal dirinya tanpa seluruh "dimensinya". Bahwa Margo mungkin bukan Margo Roth Spiegelman seperti yang dipikirkan orang-orang. Lalu makanya, Margo pun meninggalkan kota dan orang-orangnya itu, sebagai dirinya yang paper girl - entah dalam pengertian yang mana. Cuma ya, kesannya Margo seperti sebentuk labil saja dalam cermin dan jendela saya (#...), meski dia memang melakukan hal-hal yang gak sembarangan orang bisa melakukannya. Ini juga yang saya sepakati sama Sany si empunya buku kemarin. Well, secara fair juga setelah dipikir-pikir, Margo beruntung karena masih ada Quentin Jacobsen untuknya ;)
This post is submitted for Books in English Reading Challenge 2014
Thursday, February 13, 2014
Green, John. PAPER TOWNS.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Wah, buku ini sudah lama masuk wishlist saya karena sepertinya menarik.
ReplyDeleteHanya sajaa.. masih ada dua buku beliau yang belum saya baca *blushing
waa semoga segera bisa dipunyai/dibaca ya kak^^ saya sendiri juga pinjem soalnya =)) waa, kalau gitu dibaca dulu aja kak bukunya om John yang sudah ada ^^ memangnya ada yang mana saja kak? Hehe. Saya malah baru baca ini sama TFIOS^^
Delete