Wednesday, September 26, 2018

Dhi, Rufin. THE MAN WHO PLAYS PIANO: BLOGTOUR REVIEW & PHOTO CHALLENGE!


Halo, Tuan Pianis.
Permainan pianomu indah sekali. Sama indahnya seperti saat pertama kali aku mendengarnya beberapa bulan lalu. Aku sudah lama menjadi penggemar rahasiamu, mendengar dari jauh. Aku tahu dari seseorang bahwa kamu merahasiakan identitasmu, jadi aku tidak akan berusaha mencari tahu identitas aslimu.
Tapi, kamu tidak keberatan kan kalau aku menjadi pengagum rahasiamu?


Tertanda,
Pengagummu.
P.S. Aku merekam sedikit permainanmu untuk diperdengarkan ke adikku. Apa kamu tidak keberatan?
(hlm. 7)

PENERBIT RORO RAYA SEJAHTERA
NOVEL
THE MAN WHO PLAYS PIANO
Penulis: RUFIN DHI
SC; 14 x 20 cm
Jumlah Halaman: 240 hlm
Bookpaper 55 gr;
ISBN : 978-602-51290-1-8
Harga: Rp 67,000
"Genre": Love, Unyuness, Interesting Premise, Young Adult

Bersahabat dengan Nona Pengagum dan Kisah Manis yang Diceritakannya

Surat yang ditinggalkan Anka diam-diam untuk sosok pianis misterius di gedung yang dulu merupakan Fakultas Musik, setelah sejak dua bulan sebelumnya hanya menyimak permainan piano itu dari gedung perpustakaan fakultasnya, ternyata berbalas. Sejak hari itulah Anka bukan hanya penggemar rahasia, ia menjadi Nona Pengagum bagi Tuan Pianis yang sebelumnya memainkan piano tanpa mengira ada yang akan mengetahui tentang hobi rahasia tersebut sejauh ini. Meskipun keduanya bersepakat untuk tidak saling mencari tahu identitas masing-masing, tapi tetap saja Anka, sang narator dalam cerita, merasa berhutang budi pada Tuan Pianis. Permainan piano Tuan Pianis yang sudah ia rekamkan mampu mengembalikan senyum Erika, adiknya yang sakit keras. Melihat Erika, satu-satunya keluarganya yang tersisa karena kedua orangtua Anka telah meninggal sepuluh tahun lalu kembali tersenyum, sangatlah berarti bagi Anka.

Kini permainan piano Tuan Pianis menjadi makin dinanti-nanti oleh Anka setiap harinya antara pukul dua sampai tiga sore, begitupula balasan-balasan surat dari Tuan Pianis yang ternyata juga bersimpati dan menyemangatinya. Seorang pianis misterius dan pengagum rahasianya, rupanya kisah mereka tidak hanya sebatas berbalas-balasan surat tanpa nama. Tetap saja, ada perasaan yang terlibat, ada hati yang tersentuh, dan ungkapan terima kasih yang lama-kelamaan tidak cukup hanya ditampung pada selembar kertas. Tetap saja, menyimpan rahasia tidak selalu berarti bebas dari konsekuensi. Bagaimana kisah akan bermuara untuk Tuan Pianis dan Nona Pengagum?

"Kalau jatuh cinta membuatku jadi orang yang egois, lebih baik aku nggak usah jatuh cinta..."
(hlm. 124)  

Sebagai tokoh utama dan narator cerita, Anka memang berada di kondisi yang sebetulnya tidak seberuntung mahasiswa kebanyakan (red: kalau dibandingkan dengan masa mahasiswa saya dulu). Yatim piatu, memiliki adik yang sakit keras, Anka juga berusaha meringankan beban paman dan bibi yang sudah berbaik hati mengasuhnya dengan bekerja sampingan di sebuah kafe untuk setidaknya bisa membiayai kuliahnya. Meski demikian, Anka tidak pernah mengeluh dan selalu berusaha menunjukkan ketegaran, terutama di hadapan Erika. Tidak heran pula bahwa Anka juga diceritakan jarang bergaul dengan banyak teman, mengingat kondisi dirinya yang sulit membuatnya punya banyak waktu dan uang untuk kumpul-kumpul. Teman dekatnya di fakultas hanyalah Winona, meski kebetulan Winona populer sebagai primadona di kampus.

Ketegaran Anka yang ditunjukkan penulis membuat saya respek pada karakternya, dan saya juga memahami besarnya utang budi yang dirasakan Anka pada Tuan Pianis, notabene karena saya pribadi juga punya saudari yang disayangi. Menyimak interaksi Anka dan Erika cukup membuat saya tersentuh, apalagi kalau melihat Erika yang selalu menjadi pendengar yang baik untuk Anka saat berbagi rahasia tentang interaksinya dengan Tuan Pianis. Sebenarnya, bahkan secara umum pun bahasa dan cara penceritaan penulis memang enak dibaca, renyah dan mudah untuk merasa "bersahabat" dengan susunan kata-katanya. 

Penceritaan yang mengambil sudut pandang orang pertama membuat kita bisa "mengakses" secara langsung apa yang dirasakan dan dipikirkan Anka, yang sekali lagi sebenarnya termasuk tokoh yang pantas diberi respek tinggi karena ketegaran, kasih sayang, dan kemauan bekerja keras yang dimilikinya. Penulis berhasil menunjukkan kualitas-kualitas tersebut dengan cara show don't tell, sehingga pembaca bisa mengamati sendiri bagaimana dari yang dipikirkan, dirasakan, diucapkan, dan dilakukan, dapat tergambar sifat-sifat Anka.

"Aku cuma mencoba berpikir melalui sudut pandang orang lain. Terkadang, manusia itu merasa sudah peduli, tetapi nggak sadar kalau dia sebenarnya cuma sibuk memedulikan dirinya sendiri tanpa mengacuhkan sudut pandang orang lain."
(hlm. 25)

Nice words, Anka. Yah, bisa dibilang sosok Anka mungkin digambarkan dengan maksud untuk menjadi sosok yang berbeda dari kebanyakan sepantarannya, dan itu cukup bisa saya terima "logika"nya sebagai pembaca, apalagi mengingat latar belakang Anka serta pengalaman membaca dari sudut pandangnya. Belum lagi satu ciri khas Anka terkait pilihan kopi kesukaannya, espresso; fakta tersebut semakin menunjukkan adanya "keunikan" dalam sosok Anka, karena setuju banget sih kalau rasanya nggak banyak cewek yang suka minum kopi sepahit itu. Saya sendiri mah, cukup kenyataan duniawi aja yang pahit, nggak usah kopi saya juga, hehehe.

Well, intinya saya cukup bisa merasa bersimpati pada sosok Anka, karena saya salut akan kekuatannya menghadapi kondisi yang gak mudah untuk dialami, padahal usianya masih diceritakan lebih muda dari saya, notabene karakter Anka masih kuliah dan lain-lain. Saya jadi merasa bisa merefleksikan diri juga pada masa-masa kuliah saya dulu (2012-2016) yang intinya jauh lebih beruntung dari Anka karena saya bisa bebas dan fokus untuk belajar, nggak "terbebani" dengan keadaan eksternal seperti Anka. Jadi sekalian ingin menyemangati kalau kalian yang sedang baca juga mengalami perjuangan yang serupa seperti Anka, misalnya harus kerja sambilan waktu kuliah dan lain-lain... kalian hebat! You should be proud of yourself, semangat terus ya!

Untungnya, meski dengan latar belakang dan kondisinya, Anka cukup beruntung dalam kehidupan asmaranya semasa kuliah, dan itu jelas beda jauh sama saya wqwqwq (maap gak maksud curcol). Kembali lagi ke konteks cerita yang sedang kita bahas, tentunya tidak salah untuk menantikan unsur romansa dalam cerita The Man Who Plays Piano. Nyata-nyata juga dicantumkan di kavernya kalau buku ini juara ketiga kontes Sweet and Spicy Romance 2016. Dari kavernya yang sudah kelihatan manis dan menggemaskan, memang sudah tercermin kalau ceritanya juga memuat hal-hal yang manis dan unyu. Sudah begitu, menikmati ceritanya juga semakin didukung dengan desain kertas bagian dalam bukunya yang gak polos hanya untuk tulisan, tapi juga dibuat ada background nya yang bertema romantis gitu. Oh ya, dari kekepoan saya ke instagram penulis, penulisnya sendiri ternyata juga jago menggambar dan bikin artwork, lho. Jadi penasaran juga gimana kalau penulis bikin fanart dari tokoh-tokoh di The Man Who Plays Piano, biar bisa makin mantep memvisualisasikan ke"manis"an yang disajikan~~

"Awalnya aku nggak merasakan apa-apa ke dia. Biasa aja. Tapi, seiring berjalannya waktu, kegiatan berbalas surat itu jadi hal yang paling kutunggu-tunggu, Aku juga selalu menyukai permainan pianonya. Sebut saja aku kecanduan, dan memang begitu adanya. Entah mengapa... sekarang aku merasakan hal yang lain."
(hlm. 123)

Manisnya romansa memang sudah hadir dan mengalir dari sensai mengikuti interaksi surat-suratan rahasia Anka dan Tuan Pianis, kemudian penulis membawa kita untuk menyaksikan bagaimana hal itu lama-lama bersinggungan juga dengan kehidupan keseharian Anka, terutama di kampus. Sederhananya, banyak hal dalam hidup dan keseharian Anka yang kemudian tak lagi sama dan kita mengarungi lika-liku itu bersama Anka sebagai narator tunggal. Jujur harus saya katakan kalau sebenarnya ada beberapa hal yang bisa cukup mudah ditebak dari awal, tapi sebagai pembaca kita toh tidak punya kuasa untuk ikut campur dan hanya bisa menyimak sudut pandang Anka yang kadang bikin gemes sendiri. Ahaha, lucunya~~ Nanti seiring cerita berkembang, kita akan bertemu tokoh-tokoh lain yang membuat cerita jadi lebih warna-warni. Ada Dokter Raka, Bastian, Dirga, dan Rizzi yang meramaikan cerita dan siap memupuk imajinasi pembaca perempuan seperti saya untuk membayangkan sosok-sosok cogan alias cowok ganteng. Dokter Raka yang ternyata tahu perihal masa lalu yang penting untuk Anka ketahui, Bastian yang ganteng, Dirga yang keliatan judes, dan Rizzi yang manis. Haduu, tapi aku padamu kok, Zi, #TeamRizzi ((LHO))

Romansa yang disajikan dalam The Man Who Plays Piano memang benar (seperti kata sang penulis di sesi wawancara) "aman" dan bisa dinikmati oleh remaja juga. Manis dan bikin gemes untuk disimak. Saya seperti merasakan kembali pengalaman membaca teenlit atau menonton drama Korea, menyimak interaksi yang oh so sweet dan bikin geregetan sendiri. Rasanya dengan banyaknya karakter cowok yang terlibat, mungkin pembaca juga digiring untuk ikut menebak-nebak siapakah Tuan Pianis sambil menikmati jamuan adegan-adegan manis dan bikin gemes. Bagaimana interaksi antara Anka, sang Nona Pengagum dengan Tuan Pianis semakin berkembang meski dilandasi hanya lewat surat-suratan dan menikmati lagu atau soneta piano bersama sangat menarik untuk disimak, dan saya pribadi juga menyukai deskripsi penulis yang mampu menguatkan chemistry antara Anka dan Tuan Pemanis.

Halus, itulah yang kusukai dari permainan piano Tuan Pianis. Di setiap permainan pianonya, aku tahu bahwa dia selalu menyentuh setiap tutsnya dengan lembut dan penuh perasaan. Jika dia marah, tutsnya akan ditekan sedikit keras. Sesuai dengan apa yang dia rasakan. Dia sesekali mengubah tempo musik hingga terkadang membuat perasaanku jadi teraduk-aduk. Namun, seperti apa pun tempo dan dinamika permainannya, apa yang dia rasakan tidak pernah luput pada setiap permainannya. Semuanya tertuang ke dalam permainannya yang indah, dan dapat kuterima dengan baik melalui alunan melodinya.
(hlm. 81)

Meski demikian, sudut pandang orang pertama yang eksklusif hanya dari sudut pandang Anka, sebenarnya memberikan semacam batasan untuk bisa mendalami karakter lainnya. Meskipun kita memang bisa melihat dan mendapatkan kesan yang cukup mengena tentang karakter lain, saya hanya berharap bisa lebih memahami dinamika karakter lainnya dari luar sudut pandang Anka. Memang benar kalau melalui perkembangan cerita kita juga bisa mendapat gambaran perkembangan kedalaman interaksi dan pribadi karakter lainnya, tapi rasanya hanya terbatas dari apa yang dialami Anka dan berhubungan dengan Anka (dan sebenarnya harusnya nggak salah sih karena tokoh utamanya juga Anka). Alangkah akan jadi lebih menarik juga kalau kita juga bisa mengetahui bagaimana tokoh lain menilai dan memandang sosok Anka.

Mungkin dengan membiarkan perkembangan cerita dan konflik tetap berada di sudut pandang Anka ada beberapa hal yang memang dimaksudkan untuk disimpan agar bisa mengejutkan pembaca. Memang benar ada beberapa momen yang membuat saya sendiri merasa terkejut bahwa ternyata diceritakan terjadi meskipun saya sudah yakin akan satu fakta yang kemudian memang terbukti benar (makanya, buruan baca juga ya!). Tetap saja saya masih berharap akan adanya gambaran yang lebih jelas tentang dinamika pribadi karakter lainnya, terutama pada karakter Rizzi. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, dia ini cowok yang manis, baik senyuman maupun kelakuannya~ uwuwu. Haduuh, mohon maaf kalau di sini saya jadi ter-bias, tapii well demikianlah hasil dari pengalaman membaca saya.

Rasanya agak sayang aja, dengan kemampuan menulis penulis yang sudah mumpuni untuk merangkai kata sehingga enak dibaca, 228 halaman harus dinyatakan berakhir. Mungkin beberapa hal sudah cukup terjelaskan bagi Anka, tapi entah kenapa saya masih ingin bisa tersedia ruang untuk membuat beberapa kebodohan karena cinta bisa terjelaskan secara lebih manusiawi, bukan hanya terkonklusi sebagai suatu keegoisan yang menjadi nila setitik (meski memang menyakitkan) pada hal yang sudah banyak dialami bersama. Saya juga yakin bahwa di luar yang disampaikan sudut pandang Anka, ada yang masih ikhlas dan tidak menyerah meski harus menerima~~~ haduh, jangan spoiler, jangan spoiler. Yha, mau bagaimana lagi kalau jiwa-jiwa hopeless romantic dalam diri saya jadi ada yang terpancing karena menyimak bagaimana ceritanya berprogres. Biarlah sebagai pembaca saya punya kesimpulan dan pemaknaan sendiri untuk kisah dan karakter yang saya temui dalam perjalanan membaca saya.

Sebagai pembaca, tentu mungkin wajar-wajar saja kalau saya jadi berharap atau berandaikata sendiri terhadap realitas yang disajikan penulis. Tidak berarti mengecilkan peran penulis yang sudah menjalin ceritanya, ya. Saya tetap merasa sependapat pada pandangan penulis kalau memang unsur romansanya merupakan unsur yang tidak terlalu mendominasi, karena saya merasa bahwa penulis juga berhasil membangun unsur family relationship dengan baik. Mungkin hanya tema cerita tentang persahabatan yang masih serasa kurang dieksplor, karena rasanya baru digunakan sebagai bagian dari konflik. Di sisi lain, ocehan di paragraf sebelumnya yang sempat jadi menye-menye sudah cukup menunjukkan kalau penulis sudah berhasil membuat saya sebagai pembaca menginvest perasaan pada karakter-karakter dalam cerita. #TeamRizzi ((LLHHOO???)) #PLAK.

The Man Who Plays Piano sukses menghadirkan romansa yang akan bisa dinikmati pembaca dalam rentang luas. Desain bukunya mencerminkan manisnya cerita, tidak hanya dari cover yang berdesain imut, tapi juga bagian dalam buku yang tidak disajikan polos untuk menampung tulisan. Penceritaannya pun enak diikuti dan memuat tema pendukung yang juga berhasil diangkat tanpa tenggelam oleh tema romansanya. Bentuk interaksi berupa berkirim surat tanpa nama yang jarang ditemui di cerita lainnya merupakan nilai tambah yang memberi keunikan tersendiri. Karakter-karakternya mudah disukai serta mampu membangkitkan simpati para pembaca, saat menyimak cerita yang memuat banyak interaksi serta momen yang manis dan romantis hingga penyelesaian konflik yang juga memuat beberapa kejutan. Datang dari penulis yang masih terhitung belia, menurut saya novel ini sudah menunjukkan kualitas penulisan yang tinggi, jadi jangan sampai melewatkan untuk mendukung penulis dan membeli serta membaca buku ini ya!

Demikian sesi review saya, yang intinya memang susah untuk diringkas karena lumayan banyak hal yang ingin saya bagikan mengenai pengalaman saya membaca The Man Who Plays Piano; semoga review saya bisa membantu memberikan gambaran untuk kalian yang penasaran pengin baca agar bisa segera beli bukunya karena sudah ada di toko-toko buku terdekat kalian~~. Nah, selanjutnya saya juga nggak ketinggalan akan memenuhi photo challenge dari Penerbit Twigora dengan berfoto bersama buku The Man Who Plays Piano, hihi.

Super luvv buat The Man Who Plays Piano! Salamin buat Rizzi ya~~

Temanya cuma memanfaatkan dinding pink yang ternyata senada sama cover The Man Who Plays Piano untuk warna karena warna-warna covernya pastel-pastel manis gitu, semoga cukup untuk memenuhi tantangannya ya! Terima kasih juga buat kalian yang udah baca sampai sini! Nah, besok adalah yang paling ditunggu nih karena akan ada SESI GIVEAWAY yang detailnya akan diposting di post giveaway dari A Book is a Gift besok pada tanggal 27 September 2018. Please stay tune!

Ikuti semua rangkaian Blog Tour "The Man Who Plays Piano"!


19 – 21 SEPTEMBER 2018 : ATHAYA
http://theboochconsultant.blogspot.co.id/

22 – 24 SEPTEMBER 2018 : IKA MAYANG SARI
http://dumziebooks.blogspot.com/

***25 – 27 SEPTEMBER 2018 : KHAIRISA RAMADHANI PRIMAWESTRI
http://krprimawestri.blogspot.co.idyours truly! you're here!

28 – 30 SEPTEMBER 2018 : AINI EKA
https://ainthebooks.wordpress.com/

1 – 3 OKTOBER 2018 : PIDA ALANDRIAN
https://collection-of-book.blogspot.co.id

4 – 6 OKTOBER 2018 : WAHYUNITRI WAGYO
https://simbaak.wordpress.com/

7 – 9 OKTOBER 2018 : RATNA KOMALASARI
www.blueshood.wordpress.com

10 – 12 OKTOBER 2018 : TASYA DEVI
perpuskeciltasya.wordpress.com

13 – 15 OKTOBER 2018 : INTAN NOVRIZA KAMALA SARI
http://www.ketimpukbuku.com/

16 – 18 OKTOBER 2018 : JURNAL BIE
Jurnallbie.blogspot.com

17 comments:

  1. Salah satu 'kekurangan' cerita dengan sudut pandang orang pertama bagi pembaca - khususnya aku - adalah saat suka dengan satu karakter dan merasa kurang mendapat porsi lebih untuk mengenal karakter atau mendapat kesempatan bertemu dengan si karakter jika tidak bersinggungan langsung dengan 'Aku' ya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haii lagi Kak Heni, iyaa aku setuju juga kak, tapi selama karakter utama (narator)nya juga likeable dan bikin betah mengikuti POVnya nggak masalah lah ya... hehe. Terima kasih yaa sudah mampir :)

      Delete
    2. Nah, makanya ini kelebihan POV aku kalau bisa membuat aku merasa mengalami sendiri. Berkhayal aja jadi tokoh utama gitu....hahahha

      Delete
  2. Huaaaaa, aku penasaran banget sama ketegaran Anka ini. Sekuat apa dia bisa berjuang! Dan yang paling penasaran sih sama Tuan Pianis :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. i know right... jangan ketinggalan untuk baca yaa! makasiih kak seffi udh mampir...

      Delete
  3. aku suka banget ama quote, kalau jatuh cinta buat kamu jadi orang yang egois lebih baik nggak usah jatuh cinta. wowow bikin hati jadi ghimanaa gitu

    ReplyDelete
    Replies
    1. haha iyaa bagus dan ngena meski kata-katanya sederhana :) jangan sampai ketinggalan baca yaa. ini sweet sih menurut saya. makasih udah mampir yaa!

      Delete
  4. Seperti Anka yang jatuh cinta karna permainan salah seorang pianis. Kalau aku justru ingin punya keahlian bergitar. Punya azzam ingin menyenandung I'm Yours - Justin Timberlake untuk seseorang yang istimewa di hatiku nantinya hehe ;)

    Btw. Reviewnya lengkap. Semakin penasaran dengan kisah Anka dan Tuan Pianis setelah membaca review ini. So Really good.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waaah manis banget! Omong-omong karakter Rizzi juga jago main gitar, hehe. Semoga azzam nya bisa terwujud ya! Makasih untuk tanggapannya, soalnya saya memang berusaha mereview untuk kasih gambaran pengalaman membacanya sebaik mungkin, semoga membantu!

      Delete
  5. Dari kutipan -kutipan yang kakak tulis, sepertinya cara penulisan kak Rufin termasuk yang menarik. Apa yah, bisa dibilang tidak terlalu blak-blakan begitulah.

    ReplyDelete
  6. kalau menurutku, sosok Anka ini adalah sosok yang sangat tegar, dengan berjuang untuk hidupnya adiknya bahkan sanak saudaranya. biasanya, hal ini yang sering dilakukan oleh sosok pria namun ini berbeda dan jarang sih. yang seharusnya kita tahu, diluar sana perempuan kebanyakan sering berkumpul dengan teman-teman, ngopi santay, ketwa ketiwi.. tapi apa boleh buat, itu mungkin pilihan hidup Anka ya..
    loh aku ko jadi serius gini hhe
    oh iya, sebenernya ko si Anka tuh bisa menyebut pemain piano itu tuan Pianis, kan siapa yg tahu, bisa aja kan yang mainnya cewek? hehe jadi penasaran dan pengen baca :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. IYaa salut sama Anka :' hahah iyaa ya bener juga?? Entahlah yaa mungkin kamu setelah baca bisa menebak lagii hehe

      Delete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Back to Top